Untuk memberi kesempatan fintech bermodal minim untuk tetap tumbuh dan berkembang, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) segera merilis aturan baru terkait aksi merger dan akuisisi di industri fintech lending.
“Nah, dalam rancangan POJK baru, kami merencanakan pasal terkait peleburan dan penggabungan. Jadi kalau ada fintech yang mau melebur dan menggabungkan sudah dipersiapakan pasal per pasal dan aturan POJK yang baru,” kata Deputi Direktur Pengaturan, Penelitian dan Pengembangan Fintech OJK Munawar Kasan dalam diskusi virtual bersama Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), Rabu (25/11).
Menurutnya, potensi aksi merger maupun akuisisi di setiap perusahaan selalu ada, termasuk fintech. Kehadiran aturan itu ke depan di harapkan bisa memperkuat kualitas industri baik dari sisi kecukupan modal, proses bisnis serta ekosistem.
Apalagi, regulator juga berencana meningkatkan batas modal minimum pendirian perusahaan fintech dari sebelumnya Rp 2,5 miliar menjadi Rp 15 miliar. Nilai itu berdasarkan masuk dari para penyelenggara fintech lending.
“Dengan persyaratan modal disetor Rp 2,5 miliar itu tidak bisa berlanjut (sustain) lama, karena banyak penyelenggara yang ekuitasnya negatif, ada yang ekuitas di bawah Rp 1 miliar. Ke depan mereka butuh modal disetor tambahan dari investor eksisting maupun baru,” jelasnya.
Rencana penguatan modal seiring dengan berkurangnya jumlah pemain fintech karena mereka tidak mampu mempertahankan bisnisnya.
Padahal tahun 2019, OJK mencatat 164 fintech namun berkurang 10 menjadi 154 pemain hingga saat ini.
“Berkurang 10 di antaranya karena modal tergerus habis-habisan, minus, tidak mampu menyelenggarakan bisnis. Faktor bisnisnya berjalan tidak baik, tidak sesuai yang dibayangkan dulu. Perusahaan tidak memiliki uang sehingga tidak memenuhi syarat berizin,” jelas dia.
Kehadiran aturan ini juga diperlukan untuk memperkuat kualitas pemain kecil karena muncul fenomena bahwa 80% outstanding pinjaman industri berasal 21 pemain fintech atau 13,5% dari total 154 penyelenggara. Sementara 133 penyelenggara lain hanya menguasai 20% outstanding.
Dari situ, 10 penyelenggara teratas menguasai 61,68% market share industri. Sedangkan market sisanya, hanya mempunyai akumulasi platform di bawah Rp 50 miliar atau pemain – pemain kecil.
“Industri ini masih agak timpang bagi teman – teman penyelenggara karena dikuasai 10 penyelenggara. Kita melihat struktur industri masih dikuasi oleh beberapa pemain besar saja,” katanya.
Pada kesempatan yang sama, Ketua Umum AFPI Adrian Gunadi mengaku, mengapresiasi rancangan POJK terkait konsolidasi dan merger. Sebab, perusahaan startup seperti fintech di dunia manapun memiliki proses untuk tumbuh.
“Ada proses yang berhasil tumbuh, berhasil. Ada juga yang tidak berhasil, makanya kita bisa mangakomodir hal tersebut,” ungkapnya.
Ia memperkirakan, ada potensi merger antara fintech segmen produktif dan konsumtif sebagai sesuatu yang menarik. Meski demikian, merger ini bisa saling memperkuat untuk memberikan produk secara menyeluruh bukan hanya untuk segmen UMKM tapi juga konsumer.
“Saya rasa, memang akan ekspert dengan konsolidasi tentunya bagus ke kualitas juga terkait aspek profitabilitas. Maka perlu kita antisipasi ke depannya,” pungkasnya
Sumber Kontan, edit koranbumn