Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengunjungi proyek mangkrak PT Meratus Jaya Iron & Steel (PT MJIS) di Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan pada Rabu (2/12). Ia didampingi langsung oleh Direktur Utama PT Krakatau Steel Silmy Karim dan Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Mardani H Maming.
Bahlil menyayangkan mangkraknya rencana investasi yang dijalankan PT MJIS. Perusahaan tersebut bergerak di bidang usaha Industri Pengolahan Besi dan Baja Dasar atau Smelter.
PT MJIS mengalami berbagai kendala dalam menjalankan investasinya, antara lain kendala bahan baku, infrastruktur, dan pemasaran. PT MJIS yang merupakan anak usaha PT Krakatau Steel, tercatat memiliki rencana investasi senilai Rp 3,9 triliun
“Kita lihat ini sebenarnya sayang banget. Investasinya sudah terealisasi Rp 2 triliun yang berjalan. Kita sekarang bersama-sama akan cari formulasi yang tepat,” ujar Bahlil melalui siaran pers pada Kamis (3/12).
Menurutnya, investasi itu harus menjadi sumber pendapatan dan pertumbuhan ekonomi di kawasan Tanah Bumbu, yang pada akhirnya mampu menciptakan lapangan pekerjaan. “Intuisi saya sebagai mantan pengusaha, ini barang bagus. Ini cuma harus dipoles sedikit,” jelas dia.
Bahlil menilai, Kabupaten Tanah Bumbu dapat dijadikan salah satu pilihan lokasi investasi bagi investor. BKPM pun terus mendorong terwujudnya investasi berkualitas, salah satunya dengan pemerataan investasi yang tidak hanya bertumpu pada Pulau Jawa saja.
Ia yakin masuknya investasi ke daerah, akan mendorong multiplier effects yang akan mendukung pertumbuhan ekonomi daerah itu. “Jadi investasi itu seperti kereta. Ada gerbong dan lokomotifnya. Nah, anggap investasi ini lokomotifnya, dan gerbongnya nanti ikut. Itu multiplier effects-nya. Jadi ekosistemnya akan jalan, dan kawasan ekonomi ini akan bisa berjalan juga dengan baik,” ujar mantan Ketua Umum HIPMI periode 2014 sampai 2019 tersebut.
Pada kesempatan sama, Silmy Karim mengaku optimistis akan ada solusi dalam waktu dekat terkait mangkraknya PT MJIS yang sudah tidak beroperasi sejak 2015 lalu itu. Ia juga menyampaikan apresiasinya kepada Kepala BKPM dan Ketua Umum HIPMI yang berkenan melihat langsung kondisi proyek tersebut.
Dirinya berharap, kolaborasi ini akan menghasilkan solusi nyata, sehingga dapat bermanfaat bagi Indonesia, khususnya masyarakat di Kabupaten Tanah Bumbu. “Kita harus cari solusi apa yang tepat dan berdaya saing, serta mengedepankan sumber komoditi dari Indonesia. Sehingga harapan kami, yang tadinya menjadi beban, bisa menjadi suatu potensi. Kalau Kepala BKPM sudah turun tangan, ini biasanya tidak terlalu lama lagi ada solusi,” kata Silmy.
Mardani H Maming turut meyakini PT MJIS tidak akan mangkrak lagi dalam waktu dekat. Dirinya sempat menyampaikan aspirasinya agar membuka kembali Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, sebagai salah satu upaya menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat setempat.
“Dengan adanya Covid-19 saat ini, banyak orang di-PHK, maka perlu lapangan kerja. Melalui KEK Tanah Bumbu dan Batulicin, maka akan terbuka investasi dan lapangan kerja. Kalau lapangan kerja terbuka, maka masyarakat Tanah Bumbu akan banyak yang lebih sejahtera,” jelas Mardani yang juga merupakan mantan Bupati Tanah Bumbu selama dua periode.
Sebagai informasi, PT MJIS merupakan perusahaan joint venture antara PT KS (66,66 persen) dengan PT Aneka Tambang (ANTAM) (33,33 persen). Perusahaan tersebut merupakan perusahaan pioneer di Indonesia yang memproduksi sponge iron berteknologi Rotary Klin, dengan memanfaatkan bahan baku berupa bijih besi, batu bara, dan batu kapur. Awalnya, perusahaan ini didirikan untuk menyuplai besi spons ke PT KS sebagai bahan baku peleburan baja.
Dalam perjalanan investasinya, PT MJIS menghadapi berbagai permasalahan. Disebutkan, bahan baku bijih besi yang tersedia tidak memenuhi standar kebutuhan skala industri, serta batu bara yang sesuai kebutuhan spesifikasi PT MJIS tidak mencukupi bagi area Batulicin. Selain itu, kapasitas pelabuhan yang ada (berkapasitas 300ft) tidak mencukupi kapasitas yang diperlukan karena minimal 50 ribu ton.