Bank Indonesia mencatat realisasi penambahan likuiditas di perbankan atau quantitative easing (QE) telah mencapai Rp682 triliun.
Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan injeksi likuiditas tersebut setara dengan 4,4 persen produk domestik bruto (PDB) Indonesia. Bahkan, imbuhnya, stimulus ini merupakan yang terbesar di antara negara-negara emerging market.
“BI telah melakukan quantitative easing Rp682 triliun atau 4,4 persen PDB, stimulus moneter terbesar di antara emerging market,” katanya, Kamis (3/12/2020).
Longgarnya likuiditas ini diharapkan dapat mendukung penyaluran kredit di perbankan. Di samping itu, BI juga memberikan dukungan dalam bentuk kebijakan suku bunga.
Suku bunga acuan BI telah dipangkas sebesar 125 basis poin sejak awal 2020, menjadi 3,75 persen. Tingkat suku bunga ini pun terendah sepanjang sejarah Indonesia.
Perry meminta industri perbankan untuk gerak cepat dalam merespon penurunan suku bunga acuan BI tersebut. “Sudah saatnya bank turunkan suku bunga sebagai komitmen bersama untuk pemulihan ekonomi nasional,” ujarnya.
Adapun untuk 2021, Perry mengatakan stimulus kebijakan moneter akan tetap berlanjut sehingga pemulihan ekonomi dapat semakin terakselerasi.
Stabilitas nilai tukar rupiah akan terus dijaga sesuai dengan fundamentalnya dan mekanisme pasar. Kemudian, BI juga akan tetap menerapkan kebijakan suku bunga rendah hingga tekanan terhadap inflasi meningkat.
Inflasi pada tahun ini diperkirakan akan berada pada tingkat yang rendah, jauh di bawah batas kisaran target BI sebesar 2 hingga 4 persen. Pada 2021, tingkat inflasi diperkirakan akan kembali berada pada kisaran 3±1 persen.
“Suku bunga akan tetap rendah sampai muncul tanda-tanda tekanan inflasi akan meningkat. Suku bunga BI yang sekarang 3,75 persen terendah sepanjang sejarah,” katanya.
Sumber Bisnis, edit koranbumn