Bank Syariah Indonesia (BSI) mengincar investasi melalui Lembaga Pengelola Investasi atau Sovereign Wealth Fund (SWF) untuk membantu memperkuat permodalan. Direktur Utama BSI Hery Gunardi mengatakan, keberadaan SWF membuka peluang investor global masuk ke BSI menjadi mitra strategis.
“Kita ingin kukuhkan juga investasi dan partnership sehingga kami sambut kebijakan SWF. Mana tahu ada investor global yang ingin memiliki saham atau kepemilikan di BSI,” katanya dalam Webinar 7th Indonesia Islamic Economic Forum Masyarakat Ekonomi Syariah, Jumat (22/1).
Ia mengatakan, sudah ada beberapa pihak yang melakukan pendekatan awal meski belum lebih jauh. Menurutnya, investor tertarik karena posisi BSI yang mengusung slogan inklusif, memiliki produk inovatif, fokus digitalisasi, dan sasaran pasar menyeluruh.
Dengan menguatnya permodalan BSI, maka industri bisa tumbuh dan berkembang lebih cepat. BSI mengincar investor global strategis, khususnya yang berasal dari Timur Tengah, seperti dari Uni Emirat Arab, Irak, Kuwait, dan Arab Saudi.
Ia mengatakan, BSI menyusun strategi agar kinerjanya bisa menjawab tantangan yang dihadapi bank syariah nasional. Hal itu seperti dengan menumbuhkan segmen UMKM dalam ekosistem dan rantai nilai yang terintegrasi, melayani segmen retail dengan layanan khas syariah, dan pengembangan segmen wholesale dengan produk inovatif termasuk pengembangan bisnis global.
“Seperti melakukan sindikasi pembiayaan skala menengah dan bersinergi dengan bank umum syariah lainnya untuk berpartisipasi,” katanya.
Selain itu, BSI juga mendorong inovasi produk wholesale syariah yang mengoptimalkan akad khas syariah. BSI juga akan menjadi sarana bagi investor asing untuk mengakses pasar infrastruktur domestik dan investasi.
Lembaga Pengelola Investasi Indonesia diharapkan bisa membantu pertumbuhan dan pengembangan ekonomi syariah Indonesia. Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir mengatakan, pemerataan untuk umat harus dijalankan melalui pengembangan ekonomi syariah dan investasi yang bersahabat.
“Ada banyak sektor ekonomi syariah, industri halal yang besar sekali potensinya tapi belum kita optimalkan dan butuh investasi,” kata Erick.
Erick mengatakan, Indonesia perlu mengantisipasi tren industri yang saat ini terus bergerak seperti ketahanan pangan, kesehatan, dan gaya hidup halal. Menurutnya, Indonesia perlu menjadi produsen produk halal tersebut dengan bantuan dari investasi serta pembiayaan syariah. Menurutnya, sektor keuangan syariah harus jadi opsi yang tidak kalah dengan yang ada saat ini.
Erick menilai, penetrasi bank syariah saat ini masih perlu ditingkatkan. Sehingga, diperlukan intervensi strategis yang menunjukkan keberpihakan. Itu yang menjadi alasan Kementerian BUMN memberanikan diri untuk membuat terobosan penggabungan anak usaha syariah perbankan BUMN.
“Yang terpenting, penggabungan ini membuktikan keberpihakan kita,” katanya.
Erick mengatakan, SWF juga punya tujuan untuk mempercepat investasi yang ada di Indonesia dengan tidak menambah utang. SWF membawa potensi untuk lebih banyak kemitraan dalam bentuk penyertaan modal.
Sementara itu, merger tiga bank BUMN syariah dinilai dapat meningkatkan penetrasi asuransi syariah. Presiden Direktur Prudential Life Assurance Indonesia Jens Reisch mengatakan, distribusi asuransi syariah melalui bank syariah saat ini masih terbilang rendah.
“Berdasarkan jalur distribusinya, penjualan melalui bank syariah baru 27 persen. Saya yakin dengan adanya Bank Syariah Indonesia penetrasi asuransi syariah bisa meningkat,” kata Reisch.
Secara umum, Reisch mengakui, pangsa pasar asuransi jiwa syariah masih rendah. Saat ini setidaknya baru 1,2 juta orang yang memiliki polis asuransi syariah dari total 16 juta orang yang berasuransi di Indonesia. Jumlah tersebut hanya mencapai sekitar 7,5 persen dari total penduduk yang memiliki polis asuransi.
Sementara kontribusi asuransi jiwa syariah terhadap industri asuransi baru mencapai Rp10 triliun atau sekitar 7,7 persen. Sesangkan total aset industri asuransi jiwa syariah mencapai Rp33 triliun atau hanya sekitar 6,5 persen dari total industri asuransi jiwa.
Meski demikian, menurut Reisch, industri asuransi jiwa syariah di Indonesia masih berpeluang besar untuk tumbuh. Hal tersebut didukung oleh komitmen pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya untuk menjadikan Indonesia sebagai pemipin ekonomi syariah di dunia.
“Selain itu, industri dan tren gaya hidup halal yang terus berkembang di Indonesia juga menjadi peluang,” ungkap Reisch.
Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Anwar Abbas mengingatkan, pengembangan ekonomi dan keuangan syariah harus tetap memperhatikan rakyat kelas bawah. Dia pun berharap, pemerintah dapat menunjukkan keberpihakan terhadap usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dengan kebijakan afirmasi.
“Untuk itu, kebijakan yang harus kita lakukan bukan lagi trickle down effect tapi bagaimana cara supaya kita bisa memberdayakan masyarakat yang berada di lapis bawah untuk naik kelas sehingga bisa memperbesar kelas menengah,” ujar Anwar.
Sumber Republika, edit koranbumn