Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) memproyeksikan, pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang 2021 berada di level 4,4 persen hingga 4,8 persen. Angka ini di bawah perkiraan pemerintah yang menargetkan pertumbuhan pada kisaran lima persen.
Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan LPEM FEB UI Teuku Riefky menjelaskan, tantangan besar tetap akan dihadapi perekonomian Indonesia pada 2021. Sebab, sampai akhir tahun lalu, ekonomi masih belum menunjukkan perbaikan secara berkesinambungan dan berkelanjutan sebagai dampak dari penanganan kesehatan yang tidak maksimal.
“Meski masih sangat dini, cukup aman untuk mengasumsikan 2021 tidak akan menjadi tahun yang mudah bagi ekonomi global, termasuk Indonesia,” kata Riefky dalam Kajian Indonesia Economic Outlook Q1-2021 yang dirilis Rabu (3/2).
Seiring belum adanya pertanda pandemi akan berakhir dalam waktu dekat, Riefky menekankan agar pemerintah menyiapkan anggaran secara lebih matang. Hal ini untuk mengantisipasi adanya goncangan yang tentu saja akan membuat keadaan lebih buruk.
Riefky menilai, menjadikan ekonomi dan perlindungan sosial masyarakat sebagai prioritas merupakan hal penting. Namun, pembenahan sistem kesehatan merupakan kunci dari pengentasan pandemi. “Peningkatan kualitas sistem kesehatan se-yogya-nya ada di urutan pertama dari program pemulihan,” tuturnya.
Baru-baru ini, Riefky mencatat, pemerintah telah mengalokasikan setidaknya 5 miliar dolar AS atau setara dengan 0,2 persen Produk Domestik Bruto (PDB) untuk bantuan fiskal yang fokus terhadap apek kesehatan selama masa pandemi.
Jumlah tersebut dinilainya masih rendah dibandingkan negara berkembang lain seperti India dan Argentina. Masing-masing dari mereka mengalokasikan 0,5 persen dan 0,3 persen dari PDB untuk stimulus di bidang kesehatan.
Selandia Baru, salah satu negara yang dinilai sukses dalam mengatasi penyebaran virus Covid-19, telah mengucurkan setidaknya 2,5 miliar dolar AS stimulus fiskal untuk dunia kesehatan. Secara nominal, jumlah tersebut lebih rendah dibandingkan Indonesia tetapi sebenarnya setara dengan 1,2 persen dari PDB mereka.
Apabila fasilitas kesehatan tidak sepenuhnya dipersiapkan dengan anggaran signifikan, pengentasan pandemi diperkirakan membutuhkan waktu lebih lama. “Mekanisme yang demikian tidak akan membawa apapun melainkan babak baru dari rantai kerusakan yang di saat bersamaan juga mengancam kapasitas fiskal,” ujar Riefky.
Memfokuskan belanja pada bidang kesehatan dan juga menjaga sistem pemberian bantuan akan membantu menghambat laju penyebaran virus dan mengatasi dampak negatif yang sedang terjadi akibat pandemi.
Sumber Republika, edit koranbumn