Festival Film Wartawan Indonesia (FFWI) XI resmi dibuka oleh Direktur Perfilman, Musik dan Media Baru Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Ahmad Mahendra di Jakarta, Rabu, 7 Juli 2021. Festival ini diinisiasi oleh wartawan dengan mengambil tema Apresiasi Wartawan untuk Film Indonesia.
“Kami mendukung penuh terselenggaranya festival ini. Ini tentu sangat bagus sebagai bentuk dukungan wartawan terhadap industri film di tanah air,”kata Ahmad Mahendra.
Ketua Panitia FFWI, Wina Armada Sukardi mengatakan penyelenggaraan festival film oleh wartawan bukan hal yang baru di Indonesia. Kalau diurut sejak Festival Film Indonesia (FFI) pertama tahun 1955, wartawan sudah ikut bahu membahu dengan para insan film menyelenggarakan festival. Pada tahun 1970-an, PWI menyelenggarakan pemilihan The Best Actor dan The Best Actress selama enam tahun berturut-turut.
Ketua Tim Juri FFWI, Yan Widjaya, mengatakan dalam festival ini hanya tiga genre film yang diikutsertakan, yakni drama, komedi dan horror. Festival juga akan melibatkan setidaknya 40 juri dengan sebagaian besar adalah wartawan dari seluruh nusantara.
Direktur Produksi Perum Produksi Film Negara, Sutjiati Eka Tjandrasari, mengatakan kehidupan industri film Indonesia memang satu nafas dengan profesi wartawan. Jejak sejarahnya terekam dengan jelas. “Hari Film Nasional yang jatuh pada 30 Maret, menandai Usmar Ismail mengambil gambar yang pertama. Usmar Ismail seorang wartawan,” katanya.
Setelah Usmar Ismail, ada banyak jurnalis yang kemudian menjadi sineas. Menurut Sutjiati Eka Tjandrasari, hal tersebut adalah hasil dari pengembangan profesional disertai kematangan integritas dan diri. Bahwa, seorang pewarta dituntut untuk bermata dan bertelinga tajam, berintuisi dalam riset ataupun investigasi, empiris dalam mengkaji, jujur jawab dalam menuangkan dan bertanggung-jawab atas dampak yang dihasilkan karyanya. Karyanya itu, bisa dalam bentuk artikel di media, pemberitaan ataupun dokumenter.
“Integritas dan profesionalisme yang dituntut dari seorang sineas sesungguhnya tidak beda dengan tuntutan pada seorang wartawan. Kalaupun beda, adalah penambahan unsur imajinasi dan ekspresi subyektif yang bisa dimuatkan pada film. Sedangkan ekspektasi pemirsa atau masyarakat tetap sama: agar produk yang dihasilkan berintegrits dan tanggung-jawab,” tegasnya.
Sutjiati Eka Tjandrasari mengungkapkan, dalam ilmu kritik sastra, salah satu tanggung-jawab besar dari seseorang yang mempunyai kemampuan membaca dan menulis adalah menjadi pencerah bagi semua dengan menjaga integritas atas semua yang dibacanya dan yang ditulisnya.
“Wartawan ataupun sineas, atas kemampuan dan profesi mereka, sesungguhnya adalah orang-orang yang tercerahkan dan oleh karenanya mempunyai tanggung jawab menjaga integritas dari apa yang dibacanya dan dari apa yang kemudian ditulisnya/atau yang dituangkannya ke dalam film,” ujarnya.
Karena itu, Perum PFN sangat mendukung terselenggaranya FFWI XI yang acara puncaknya pada 28 Oktober 2021 mendatang. Sutjiati berharap festival ini tidak saja menjadi ajang saling mengkawal dari sisi kualitas, tetapi juga saling mendukung dan saling membina. Dari wartawan kepada sineas, dan dari sineas kepada wartawan.
Perum PFN sendiri, kata Sutjiati Eka Tjandrasari, dalam menjalankan transformasi sesuai dengan tupoksi pada Permen 05/1988, yaitu membangun manusia Indonesia seutuhnya dalam rangka turut mengembangkan ekonomi dan berkontribusi pada ketahanannasional, mengambil misi mendukung produksi film dan konten yang membangkitkan cinta dan penghargaan kepada sejarah, budaya, bangsa dan Negara Indonesia.
Ketua PPFI (Persatuan Perusahaan Film Indonesia) Deddy Mizwar juga mengapresiasi dan mendukung penuh FFWI tersebut. Ia mengatakan kritik dan kajian atas film saat ini sangat dibutuhkan. “Yang bisa melakukan itu adalah para pengamat dan wartawan. Ini sangat baik dan sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas dan juga apreasiasi masyarakat atas film,”kata Deddy Mizwar.