Peningkatan alokasi investasi ke instrumen syariah menjadi salah satu tantangan dalam pengembangan layanan syariah dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS Ketenagakerjaan. Diperlukan dukungan dari seluruh pemangku kebijakan agar para pekerja bisa memilih proteksi berbasis syariah.
Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan atau BP Jamsostek Anggoro Eko Cahyo menjelaskan bahwa pihaknya akan memulai penerapan layanan syariah pada Agustus 2021. Uji coba penerapan itu akan dimulai di Aceh, seiring berlakunya qanun di sana, kemudian secara bertahap akan diterapkan dalam skala nasional.
Anggoro menjelaskan bahwa terdapat dua aspek utama yang perlu disiapkan dalam pengembangan layanan syariah, yakni pengelolaan dana dan skema program. Saat layanan syariah berlaku, seluruh dana dari peserta yang memilih layanan tersebut harus ditempatkan di instrumen syariah.
Saat ini, BPJS Ketenagakerjaan memiliki dana kelolaan sekitar Rp500 triliun. Dari jumlah itu, sekitar 76 persen atau Rp385 triliun di antaranya ditempatkan di instrumen konvensional dan baru 24 persen atau sekitar Rp115 triliun yang berada di instrumen syariah.
Mayoritas portofolio investasi BPJS Ketenagakerjaan atau sekitar 66,8 persen ditempatkan di instrumen surat utang, yakni sekitar Rp254 triliun (50,6 persen) di obligasi konvensional dan sekitar Rp80,9 triliun (16,1 persen) di instrumen sukuk. Penempatan lainnya ada di pasar modal syariah yang berkisar Rp35,5 triliun (7,09 persen) dan sedikit di deposito syariah berkisar Rp714,6 miliar (0,14 persen).
Anggoro menjabarkan bahwa secara regulasi masih terdapat ruang bagi BPJS Ketenagakerjaan untuk melakukan penambahan investasi di setiap portofolio maupun mengubah komposisinya. Namun, masih terdapat keterbatasan opsi instrumen investasi syariah jika layanan syariah BPJS akan dikembangkan lebih luas.
“Pengembangan layanan syariah secara nasional akan membutuhkan alokasi investasi ke instrumen syariah. Kami harap bisa berkontribusi lebih besar [dalam penempatan investasi syariah], sehingga kami perlu dukungan untuk mengembangkan ekosistem pasar modal syariah, misalnya dengan regulasi untuk jaminan sosial yang kompetitif,” ujar Anggoro pada Kamis (15/7/2021).
Dia pun menilai bahwa penempatan investasi di instrumen syariah ke depannya bisa tumbuh lebih besar secara alami, tapi akan terjadi percepatan jika layanan syariah BPJS dikembangkan. Saat ini, opsinya masih terbatas karena beberapa instrumen seperti mutual fund dan penempatan langsung belum banyak yang berbasis syariah.
“Selain itu, jumlah bank syariah dan bond syariah masih terbatas,” ujar Anggoro.
Dari sisi program, menurutnya jaminan hari tua (JHT) merupakan program yang skemanya paling sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Dalam pengembangan layanan syariah, BPJS Ketenagakerjaan sedang menunggu penilaian dari Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI).
Penempatan investasi dari setiap program memiliki komposisi yang relatif setara, yakni 14 persen–25 persen dana setiap program ditempatkan di instrumen syariah. Namun, terdapat karakteristik akun yang berbeda dari program yang berjalan, yakni JHT bersifat rekening pribadi setiap peserta sedangkan program lainnya merupakan pooling fund.
Salah satu alasan Anggoro menyebut JHT paling sesuai dengan prinsip syariah di antaranya adalah karakteristik akun yang merupakan rekening pribadi. Nantinya, setelah terdapat peserta yang memilih layanan syariah, dana milik peserta itu dapat dipindahkan ke instrumen syariah.
Lain halnya dengan pooling fund, dana yang ada masih berbaur antara yang ditempatkan di instrumen konvensional dengan syariah. Di sini, menurut Anggoro, penilaian dari DSN-MUI menjadi pentingagar rencana pengembangan layanan syariah dapat berjalan optimal.
“Dengan konversi ini, kami berupaya menyediakan layanan bagi pekerja yang ingin dilayani secara syariah,” ujar Anggoro.
Sumber Bisnis, edit koranbumn