PT Pertamina (Persero) dan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) menggenjot target bauran energi baru dan terbarukan (EBT) hingga 2030 nanti. Tak hanya Pertamina dan PLN, PT Bukit Asam (Persero) Tbk juga siap memasuki bisnis EBT.
Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati menjelaskan, perseroan melakukan energy mix hingga 2040 agar bisa mengejar target nol untuk karbon emisi dan beralih dari energi fosil ke energi bersih.
“Kami melakukan berbagai upaya, baik dari sisi midstream, yaitu kilang-kilang kita dan juga downstream, yaitu produk yang lebih ramah lingkungan,” kata Nicke di Jakarta, Rabu (14/7).
Nicke menyampaikan, untuk mendukung rencana tersebut Pertamina mengalokasikan anggaran sebesar 92 miliar dolar AS selama 2020 hingga 2040. Pertamina juga akan melakukan diversifikasi bisnis sehingga energi bersih yang dihasilkan dapat memberikan nilai tambah.
Nicke mengatakan, Pertamina saat ini memulai masuk ke bisnis carbon capture dan hidrogen. Kedua proyek ini masih dalam tahap uji coba di beberapa proyek Pertamina yang diharapkan bisa segera terimplementasikan dan menjadi salah satu bisnis perseroan.
Pertamina menyatakan, target bauran energi adalah mengurangi porsi penggunaan bahan bakar minyak (BBM) dan liquified petroleum gas (LPG) menjadi 64 persen. Termasuk meningkatkan porsi penggunaan gas menjadi 19 persen serta EBT menjadi 17 persen dari total bauran energi pada 2030.
Direktur Utama PLN Zulkifli Zaini mengatakan, pihaknya juga berencana beralih ke sektor EBT. Berbagai upaya, seperti menghentikan operasional pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) dan meningkatkan porsi pembangkit EBT, dilakukan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) listrik itu.
“Untuk bisa mewujudkan karbon netral pada 2030, PLN akan mulai memensiunkan pembangkit tua yang subcritical. Kita punya ruang untuk memetakan kembali bagaimana pembangkit EBT akan mulai masuk dengan tetap menjaga pembangkit yang diperlukan sebagai sistem penyeimbang dengan intermittent renewable energy,” kata Zulkifli.
Zulkifli menambahkan, PLN akan melakukan penghentian operasi pembangkit yang berumur tua dan masih menggunakan energi fosil pada 2035 mendatang. Ia mengatakan, PLN akan menjalankan tahap kedua memensiunkan pembangkit fosil tua yang subcritical pada 2035.
Selanjutnya, PLN masuk tahap ketiga, yaitu mempensiunkan pembangkit pada 2040 karena semua akan digantikan pembangkit berbasis renewable energy secara bertahap. Zulkifli memastikan, pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) subcritical sebesar 5 gigawatt (GW) akan dipensiunkan pada 2055.
Mengikuti Pertamina dan PLN, PTBA semakin mantap memasuki bisnis EBT. Strategi ini merupakan upaya emiten berkode saham PTBA itu dalam melakukan diversifikasi bisnis selain batu bara.
Selain itu, strategi ini ditempuh sebagai respons atas penolakan terhadap energi fosil yang lantang digaungkan akhir-akhir ini. “Isu tentang penolakan terhadap energi fosil makin kencang, untuk menyikapinya, kami benar-benar akan masuk bisnis EBT,” kata Direktur Utama PTBA Suryo Eko Hadianto.
Suryo menjelaskan, PTBA sudah memulai peran dan kontribusinya dalam pengembangan EBT. Pada 2020 lalu, PTBA bekerja sama dengan PT Angkasa Pura II (Persero) membangun pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) berkapasitas sebesar 241 kilowatt-peak (kWp) dengan investasi senilai 194 ribu dolar AS atau setara Rp 2,8 miliar.
Selain itu, emiten pelat merah ini juga memiliki beberapa pilot project lainnya berupa solar irrigation pump yang dibangun di Sumatra Barat, Lampung, dan Sumatra Selatan. “Ini sebagai langkah pilot project dan sekarang sudah berjalan dengan baik dan menambah keyakinan kami untuk masuk ke dalam bisnis EBT,” kata Suryo.
Suryo mengakui, diperlukan investasi yang sangat besar dalam untuk masuk ke bisnis EBT ini. Untuk membangun PLTS berkapasitas 1 megawatt (MW) di atas lahan 1 hektare saja, menurut dia, membutuhkan biaya konstruksi dan panel hingga sekitar Rp 10 miliar.
PTBA juga siap mengembangkan PLTS di wilayah Bantuas, Kalimantan Timur, dengan kapasitas sekitar 30 MW. Selain itu, terdapat PLTS di Tanjung Enim, Sumatra Selatan, yang sudah siap dikembangkan dengan kapasitas 200 MW. Suryo optimistis bisnis PLTS ini akan menjadi masa depan bagi perseroan.
Direktur Jenderal EBT Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan, pengembangan EBT bukanlah hal yang mustahil. Ia mengatakan, potensi EBT di Indonesia sangat banyak dan sangat layak untuk dikembangkan.
“Kita adalah negara terbesar kedua di dunia dari sisi potensi EBT. Namun, memang secara pemanfaatan masih harus ditingkatkan. Saat ini pemanfaatnya baru 9 persen dan ini yang kami genjot,” ujar Dadan.
Sumber Republika, Edit koranbumn