PT PLN (Persero) sukses mengeksekusi perdagangan emisi (emission trading) melalui pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) pertama kalinya di Indonesia. Eksekusi perdagangan emisi merupakan bagian dari uji coba jual beli karbon di subsektor ketenagalistrikan oleh pemerintah melalui Kementerian ESDM yang dimulai pada Maret sampai dengan Agustus 2021. Sebanyak 80 PLTU milik PLN dan produsen listrik swasta turut terlibat dalam uji coba ini.
Pemerintah telah menetapkan batas intensitas emisi CO2 PLTU yaitu 0,918 ton CO2/MWh untuk PLTU lebih dari 400 MW, 1,013 ton CO2/MWh untuk PLTU berkapasitas 100 – 400 MW, dan 1,094 ton CO2/MWh untuk PLTU Mulut Tambang 100 – 400 MW. Batasan tersebut menentukan jumlah alokasi kuota emisi masing-masing PLTU dimana PLTU yang emisinya melebihi alokasi kuota emisi, dapat membeli kuota emisi dari PLTU lain yang memiliki surplus kuota emisi.
PLTU Tanjung Jati B (TJB) Unit 4 milik PLN, merupakan bagian dari sukses perdagangan emisi ini. Sebagai pembangkit dengan intensitas emisi terendah pada 2020, PLTU TJB memiliki surplus kuota emisi yang cukup besar. Dalam uji coba perdagangan emisi ini, PLTU TJB Unit 4 berhasil melakukan transfer kuota emisi kepada PLTU Punagaya, PLTU Pangkalan Susu, PLTU Sebalang dan PLTU Teluk Sirih dengan harga Rp30.000,- untuk setiap unit karbon (1 ton CO2) yang ditansfer.
“Kami mengapresiasi penyelenggaraan uji coba perdagangan emisi oleh Kementerian ESDM. Uji coba ini mendorong unit PLTU untuk melakukan upaya penurunan emisi, baik di dalam lokasi PLTU maupun di luar lokasi PLTU dengan melakukan pembelian kuota emisi dan offset karbon,” ungkap Agung Murdifi, Executive Vice President Komunikasi Korporat dan CSR PLN.
Agung menjelaskan bahwa PLTU milik PLN Grup lainnya juga telah turut melakukan perdagangan kuota emisi sesuai mekanisme yang diatur oleh Kementerian ESDM, melalui Penghargaan Subroto Bidang Efisiensi Energi (PSBE) 2021 Kategori C – Penurunan dan Perdagangan Emisi Karbon di Sektor Pembangkit listrik.
PLN menurutnya berkomitmen dalam mendorong penurunan emisi karbon. Dalam semangat transformasi dan juga strategi pengembangan bisnis masa depan, PLN menurutnya telah menyiapkan peta jalan yang akan mendukung upaya global untuk menuju era emisi nol karbon.
Sejauh ini, sektor ketenagalistrikan Indonesia sendiri menyumbangkan 14 persen dari keseluruhan emisi nasional. Porsi ini termasuk yang terendah di antara lima negara terluas di kawasan ASEAN. Filipina dan Vietnam misalnya, yang sektor ketenagalistrikannya masing-masing berkontribusi 30 persen terhadap emisi, sementara Malaysia mencapai 32 persen terhadap kontribusi emisi nasionalnya.
PLN Juga Lakukan Pengimbangan Emisi PLTU
Selain perdagangan emisi karbon, PLTU milik PLN Grup juga telah melakukan pengimbangan emisi (offset) dengan membeli kredit karbon yang dihasilkan oleh beberapa PLTA melalui program Verified Carbon Standard (VCS).
PT PJB UP Paiton merupakan PLTU pertama di Indonesia yang melakukan offset karbon dengan membeli kredit karbon yang dihasillkan PLTA Musi. Langkah ini diikuti oleh PLTU milik PT PJB UBJ O&M PAITON, PLTU Tanjung Jati B milik PLN, PT PJB UBJ O&M PLTU Tanjung Awar-Awar, PT PJB UBJ O&M PLTU Indramayu, dan PT PJB UBJ O&M PLTU Rembang.
“Uji coba sistem perdagangan emisi merupakan sarana pembelajaran awal terhadap penerapan mekanisme perdagangan emisi dan offset karbon, kami berharap ada relaksasi pembatasan tahun COD pembangkit EBT yang menghasilkan kredit karbon, sehingga upaya offset karbon yang telah dilakukan PLTU kami mendapatkan poin penilaian dalam PSBE 2021 Kategori C,” tutur Agung.
Dengan melakukan offset karbon, PLTU mengkompensasi sebagian emisi karbon mereka sehingga neraca emisi karbon menjadi lebih rendah. Selain offset melalui kredit karbon, PLTU juga dapat melakukan offset dengan membeli penurunan emisi yang dihasilkan oleh pembangkit EBT yang penurunan emisinya belum tersertifikasi. Hanya saja, sebelumnya pembangkit EBT tersebut harus melakukan Pembukuan Penurunan Emisi (PPE).
Beberapa pembangkit EBT milik PLN Grup sudah mengajukan pembukuan penurunan emisi (PPE) kepada KESDM. Di antaranya adalah beberapa pembangkit EBT di Wilayah Timur, yaitu PLTA run off river Orya di Papua, PLTMH Ndungga di NTT, serta sejumlah PLTMH di Sulawesi Selatan.
Pembangkit-pembangkit EBT tersebut berkontribusi terhadap pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan (SDG) yang dalam poin tujuh mendorong ketersediaan energi bersih untuk meningkatkan rasio elektrifikasi, serta SDG poin 13 yang mendorong kontribusi penurunan emisi karbon.