Pembatasan aktivitas masyarakat akibat pandemi Covid-19 begitu memukul usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Namun, adanya kebijakan relaksasi restrukturisasi kredit/pembiayaan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) membuat mereka mampu bertahan.
Salah satunya, Maulana, 38 tahun, warga Kabupaten Banyumas. Kepada Bisnis, dia bercerita pemasukan ekonomi dari usaha indekos yang dirintisnya pada 2010 anjlok sejak pertengahan tahun lalu.
“Setiap bulan bisa dapat Rp1,5 juta. Namun, ada Covid-19 turun sampai 100 persen, enggak ada orangnya [penghuni indekos],” katanya, dikutip Sabtu (13/8/2021).
Beban ayah dua anak ini semakin berat karena pada saat bersamaan dia memiliki kewajiban keuangan kepada PT Bank BRIsyariah Tbk., yang kini bernama PT Bank Syariah Indonesia Tbk. setelah resmi merger pada 1 Februari 2021. Pada Februari 2020, dia mendapatkan pembiayaan program KUR dari BRI Syariah sebesar Rp50 juta dengan tenor 5 tahun.
Pinjaman tersebut digunakan untuk memperbaiki bangunan indekos miliknya. Selanjutnya, pendapatan dari usaha indekos dialokasikan untuk membayar angsuran kepada bank.
Sampai kemudian, Maulana mendapatkan informasi adanya program keringanan bagi debitur terdampak Covid-19. Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan, dia mengajukan keringanan atas pembiayaan yang dimiliki kepada BSI.
“Alhamdulillah, proses pengajuan [debitur terdampak] Covid-19 dimudahkan dan diproses cepat. Angsuran normal Rp955.000 per bulan, tetapi mulai Mei tahun lalu hanya bayar kisaran Rp200.000-Rp300.000,” katanya.
Maulana mendapatkan keringanan berupa penundaan angsuran atau tanpa pembayaran pinjaman pokok. Dia pun telah mengetahui konsekuensi setelah pandemi berakhir yakni nilai angsuran lebih tinggi dari nilai akad.
Keringanan bagi debitur terdampak Covid-19 diatur dalam POJK 11/2020 yang berlaku hingga Maret 2021. OJK kemudian melakukan perpanjangan relaksasi selama setahun melalui POJK 48/2020 yang akan jatuh tempo pada Maret tahun depan.
“Awalnya pengajuan [keringanan] 6 bulan, setelah itu pengajuan lagi. Ternyata diperpanjang karena Covid-19 belum selesai, sampai tahun depan. Setelah perpanjangan Covid, [angsuran] jadi Rp1,4 juta,” imbuhnya.
Maulana mengaku sudah bisa bernapas lega karena beban angsuran bisa lebih ringan dan saat ini dia masih bisa bertahan dari hasil penjualan jajanan pasar yang diproduksi bersama istrinya. Upaya itu dijalani sambil menunggu keadaan kembali normal, usaha indekos mulai memberikan pemasukan, dan bisa membayar cicilan.
Maulana adalah satu dari 62.000 debitur UMKM yang mendapatkan restrukturisasi pembiayaan dari BSI. Wakil Direktur Utama 1 BSI Ngatari mengatakan perseroan turut membantu nasabah melalui restrukturisasi pembiayaan yang terdampak pandemi Covid-19.
Ngatari menyebutkan jumlah debitur UMKM penerima restrukturisasi sebesar 65 persen dari total debitur penerima keringanan. Sampai dengan Juni 2021, perseroan melakukan restrukturisasi pembiayaan kepada 96.000 nasabah atau 12 persen dari total nasabah BSI, dengan total nilai Rp18,97 triliun atau 9 persen dari total baki debet pembiayaan.
“Dari total nasabah yang direstrukturisasi, sebesar 65 persen atau 62.000 nasabah adalah nasabah UMKM dengan nilai nominal Rp7,91 triliun,” sebutnya belum lama ini.
Komitmen BSI terhadap UMKM juga tercermin dari penyaluran pembiayaan mikro yang tumbuh pesat pada semester I/2021. Secara total, pembiayaan BSI tumbuh 11,7 persen yoy menjadi Rp161,50 triliun.
Pertumbuhan itu terutama ditopang oleh pembiayaan mikro yang naik 12,88 persen yoy. Kenaikan pembiayaan mikro mendorong peningkatan komposisi UMKM terhadap total pembiayaan. Porsi UMKM pada Desember 2020 sebesar 22,40 persen naik menjadi 22,86 persen pada Juni 2021.
“Pertumbuhan pembiayaan kepada segmen mikro yang signifikan tersebut merupakan komitmen BSI untuk terus mendorong bisnis UMKM,” imbuhnya.
Adapun secara industri, total outstanding kredit restrukturisasi perbankan sebesar Rp777,31 triliun hingga 14 Juni 2021. Dari jumlah itu, sebesar Rp292,39 triliun atau 37,62 persen berasal dari UMKM.
OJK dalam beberapa kesempatan menyatakan restrukturisasi kredit terdampak Covid-19 menunjukan perbaikan tercermin dari menurunnya jumlah baki debet kredit yang direstrukturisasi.
OJK juga membuka peluang perpanjangan restrukturisasi kredit perbankan karena mempertimbangkan angka kasus positif harian yang masih tinggi. Rencananya, keputusan resmi OJK akan dikeluarkan pada akhir Agustus 2021.
Rencana itu juga menjadi perhatian pemerintah. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan pemerintah telah berbicara dengan OJK untuk memperpanjang POJK 48/2020.
Pemerintah mengusulkan agar kemudahan restrukturisasi yang akan jatuh tempo pada Maret tahun depan, dapat diperpanjang selama setahun. “Dan kami sudah minta [perpanjangan restrukturisasi kredit] sampai dengan 31 Maret 2023. Tentu kita menunggu keputusan daripada OJK,” katanya dalam dialog salah satu acara televisi, Selasa (10/8/2021) malam.
Sumber Bisnis, edit koranbumn