PT Hutama Karya (Persero) menargetkan mampu menyelesaikan sebagian konstruksi ruas bebas hambatan di Jalan Tol Pekanbaru–Padang pada akhir tahun ini.
Adapun, ruas yang dimaksud adalah Tol Pekanbaru–Bangkinang sepanjang 40 kilometer yang merupakan bagian Tol Pekanbaru–Padang segmen Pekanbaru–Pangkalan.
Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) mendata, perkembangan konstruksi ruas tersebut telah mencapai 74,03 persen per September 2021. Ruas yang dijadwalkan rampung pada Desember 2021 itu tercatat memiliki deviasi perkembangan konstruksi yang negatif sebesar 1,36 persen.
“Menjelang akhir tahun, [ruas Pekanbaru–Bangkinang] ditargetkan dapat difungsikan sepanjang 31 kilometer dengan exit tol berada di STA 9 dan STA 40,” kata Direktur Operasi III Hutama Karya Koentjoro dalam keterangan resmi, Kamis (30/9/2021).
Oleh karena itu, Koentjoro meminta pihak yang menangani pembebasan lahan dapat segera menuntaskan kewajibannya. Sejauh ini, lahan yang telah dibebaskan untuk konstruksi ruas tersebut baru mencapai 54,08 persen.
Koentjoro menilai, percepatan pembebasan lahan tersebut penting agar perseroan dapat mengoptimalkan proses konstruksi. Adapun, penyelesaian ruas Pekanbaru–Padang dinilai penting oleh pemerintah untuk meningkatkan daya saing produk nasional di pasar global.
Pemerintah Provinsi Riau saat ini masih menunggu status pembebasan izin lahan kawasan hutan untuk progres pembangunan Jalan Tol Trans Sumatera (JTTS) ruas Pekanbaru–Bangkinang. Pada kuartal II/2021, total lahan yang belum dibebaskan sekitar 10 kilometer
Secara rinci, masih ada 3,5 kilometer kawasan hutan yang belum dibebaskan di Desa Rimbo Panjang. Sementara itu, sekitar 6,5 kilometer merupakan lahan milik masyarakat.
Pemerintah Riau telah melakukan pertemuan dengan masyarakat pemilik lahan dan menyepakati proses ganti rugi lahan.
Terpisah, Anggota Komisi V DPR Fraksi Partai Kesejahteraan Rakyat (PKS) Syahrul Aidi Maazat menemukan adanya praktik mafia tanah dalam proyek Tol Pekanbaru–Bangkinang. Syahrul berujar, praktik tersebut merupakan salah satu faktor yang menahan proses pembebasan lahan proyek tersebut.
Syahrul menyampaikan praktik mafia yang dimaksud adalah pengubahan Hak Produksi Konservasi (HPK) kebun perusahaan sawit menjadi Hak Pengelolaan (HPL). Sementara itu, HPL kebun sawit milik petani diubah sebagian orang menjadi HPK.
Dengan kata lain, perkebunan sawit milik petani yang akan dilalui proyek tersebut tidak akan mendapatkan dana pembebasan lahan, sedangkan perusahaan sawit akan mendapatkan dana pembebasan lahan.
Pasalnya, lahan dengan sertifikat HPK dikendalikan oleh negara. “Saya selalu menyampaikan pada PPK [Pejabat Pembuat Komitmen] jangan hanya [melakukan pembebasan lahan dengan] pendekatan hukum saja,” ucapnya.
SUmber Bisnis, edit koranbumn