Perolehan laba dari perusahaan-perusahaan badan usaha milik negara atau BUMN dinilai belum optimal karena pertumbuhannya yang stagnan, padahal aset perusahaan pelat merah terus meningkat.
Hal tersebut disampaikan oleh akademisi Universitas Indonesia yang juga pengamat BUMN Toto Pranoto dalam rapat bersama Badan Anggaran DPR, Kamis (10/2/2022). Rapat itu membahas soal penanaman modal negara (PMN) bagi BUMN dan isu-isu terkait perusahaan pelat merah.
Toto menilai bahwa dari sisi aset dan ekuitas, BUMN mencatatkan pertumbuhan yang konsisten dalam lima tahun terakhir, bahkan pada 2020 ketika pandemi Covid-19 melanda. Aset BUMN senilai Rp5.250 triliun pada 2016 terus tumbuh hingga mencapai Rp9.295 triliun pada 2020.
Sayangnya, tren serupa tidak terjadi pada capaian laba perusahaan-perusahaan BUMN. Pada 2015 total laba BUMN tercatat senilai Rp171 triliun, lalu 2016 Rp186 triliun, 2017 Rp186 triliun, 2018 Rp154 triliun, 2019 Rp165 triliun, lalu melambat pada 2020 menjadi Rp38 triliun sebagai efek pandemi Covid-19.
“Menjadi problem adalah rasio laba bersih terhadap PDB yang relatif stagnan, 0,2 persen—1 persen. Bagaimana sisi aset meningkat, ekuitas relatif meningkat, tetapi kemampuan generate laba angkanya masih perlu ditingkatkan,” ujar Toto pada Kamis (10/2/2022).
Menurutnya, rasio laba BUMN terhadap PDB masih kecil sehingga perlu tumbuh dengan optimal. Hal tersebut mungkin terjadi karena dari sisi aset terbukti adanya kemampuan BUMN untuk tetap tumbuh.
Meskipun begitu, menurut Toto, pertumbuhan aset itu tak lepas dari peranan 20 BUMN berskala besar yang terus berkembang, terutama perusaahaan-perusahaan yang terdaftar di bursa. Oleh karena itu, perbaikan tata kelola BUMN menjadi penting.
“Karena kalau kita compare dengan data PDB, maka kita lihat net income itu relatif belum terlalu tinggi, apalagi saat masuk situasi pandemi di mana kemudian angkanya anjlok sampai sekitar 0,2 persen [terhadap PDB],” ujar Toto.
Sumber Bisnis, edit koranbumn