Proyek hilirisasi perusahaan tambang pelat merah masih bergulir. Dalam keterangan resminya (16/3), Manajemen PT Aneka Tambang Tbk atau Antam menegaskan bakal terus melanjutkan penyelesaian proyek pembangunan sejumlah pabrik pengolahan dan pemurnian atau smelter.
Salah satu smelter di antaranya yakni pabrik feronikel yang berlokasi di Halmahera Timur (Haltim), Maluku Utara. Manajemen Antam melaporkan, pabrik feronikel berkapasitas 13.500 TNi per tahun itu berikut infrastruktur pendukungnya telah memasuki fase konstruksi proyek.
Kemajuan konstruksi fisik pembangunannya sudah mencapai 98,18% pada akhir tahun 2021 lalu. Tidak hanya itu, ANTAM juga telah menandatangani Pokok – Pokok Kerjasama terkait pengadaan pasokan listrik Smelter Feronikel Haltim dengan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) (PLN) pada bulan Februari 2022 lalu.
Penandatanganan itu ditindaklanjuti dengan penandatanganan Surat Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik pada bulan Maret 2022.
“Melalui sinergi ini, direncanakan pasokan tenaga listrik akan dilaksanakan secara bertahap oleh PLN dalam periode 12 bulan ke depan,” tulis Manajemen Antam dalam keterangan resmi (16/3).
Proyek lainnya yang juga tengah digarap Antam adalah pembangunan pabrik Smelter Grade Alumina Refinery (SGAR) di Mempawah, Kalimantan Barat, yang dikembangkan bersama dengan PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) untuk pengembangan hilirisasi komoditas bauksit. Nantinya, pabrik tersebut akan memiliki kapasitas pengolahan sebesar 1 juta ton SGAR per tahun.
“Dalam hal pengembangan hilirisasi komoditas bauksit, saat ini Perusahaan terus berfokus dalam pembangunan pabrik Smelter Grade Alumina Refinery (SGAR) di Mempawah, Kalimantan Barat,” terang Manajemen Antam.
Selain Antam, PT Timah Tbk (TINS) juga tengah mengawal proyek proyek pembangunan smelter pemurnian timah berteknologi TSL Ausmelt Furnace. Corporate Secretary TINS, Abdullah Umar mengungkapkan, kemajuan penyelesaian proyek TSL Ausmelt Furnace sudah di atas 90% dan direncanakan beroperasi pada paruh kedua tahun ini.
Smelter tersebut kapasitas peleburan sebesar 40.000 ton crude tin per tahun. Jika dihitung sejak awal pembangunan, estimasi kebutuhan investasi smelter ausmelt ditaksir berjumlah US$ 80 juta.
Proyek hilirisasi ini melengkapi proyek hilirisasi yang sudah dijalankan oleh anak usaha TINS sebelumnya, yakni PT Timah Industri. Sebelumnya, Timah Industri melakukan proyek hilirisasi melalui pabriknya di Cilegon.
“PT TI (Timah Industri) sudah terbentuk sejak 1998 dan mulai produksi tin solder tahun 2015 dan produksi tin chemical sejak tahun 2010,” ujar Abdullah
Upaya hilirisasi juga dilakukan oleh perusahaan tambang pelat merah lainnya, yakni PT Bukit Asam Tbk. Mengutip pemberitaan Kontan.co.id dimuat pekan lalu (7/3), emiten batubara berkode saham PTBA itu telah melakukan groundbreaking proyek hilirisasi batubara menjadi dimetil eter (DME) di Kawasan industri Tanjung Enim, Sumatera Selatan bersama Pertamina dan Air Products & Chemical Inc.
Proyek gasifikasi tersebut menjadi proyek strategis nasional (PSN) dan akan dilakukan selama 20 tahun dengan nilai investasi dari Air Products mencapai US$ 2,3 miliar atau setara US$ 32,9 triliun.
Menurut perkiraan, proyek gasifikasi ini diproyeksi mampu menyerap 6 juta ton batubara per tahun dan dapat menghasilkan 1,4 juta DME per tahun. DME ini bisa mengurangi impor liquified petroleum gas (LPG) lebih dari 1 juta ton per tahun.
Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan mengatakan, pembangunan smelter menjadi peluang juga bagi PLN untuk berpartisipasi dalam memasok listrik ke smelter karena smelter membutuhkan listrik yang cukup besar. Ini akan membantu PLN dalam meningkatkan penjualan listrik mereka.
Di samping itu, hilirisasi sektor minerba, lanjut Mamit, merupakan keharusan yang tidak bisa ditawar lagi lantaran mampu membawa efek multiplier effect yang sangat besar. Contoh multiplier effect itu di antara lain menambah penerimaan negara, meningkatkan penyerapan tenaga kerja, serta mendongkrak industri penunjang kegiatan penambang dan pertumbuhan ekonomi nasional.
“(Hilirisasi minerba) Bisa mengurangi impor dari produk hasil smelter sehingga bisa mengurangi CAD (current account deficit), termasuk hilirisasi batubara dengan harapan bisa mengurangi impor LPG,” imbuh Mamit
Sementara itu, Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi), Rizal Kasli menilai bahwa kegiatan penambangan dengan hanya menghasilkan dan menjual bahan mentah menurut Rizal seharusnya sudah menjadi masa lalu, sebab kegiatan tersebut hanya menghasilkan nilai ekonomis yang sangat kecil, serta tidak memberi nilai strategis dan vital dari kegiatan tersebut
Selain itu, Rizal juga menilai bahwa BUMN tambang seyogyanya bisa belajar dari pengalaman Vale Brazil. Rizal mencatat, Vale awalnya hanya perusahaan pertambangan bijih besi, yang melakukan kegiatan penambangan bijih besi di Itabira Brazil.
Namun sejalan waktu, kegiatan operasional Vale berkembang ke sektor hilir, dengan melakukan pengolahan bijih besi untuk menghasilkan aneka produk industri seperti rel kereta, kereta api dan kendaraan lainnya. Perusahaan BUMN milik Brazil itu, kata Rizal, kini menjadi perusahaan sektor pertambangan terbesar nomor 2 di dunia dan beroperasi di 30 negara di dunia.
“Jika ingin menjadi besar seperti Vale (Brazil), maka hilirisasi yang dilakukan Antam, Bukit Asam dan PT Timah harus digenjot sesegera mungkin, agar optimalisasi keuntungan dapat diperoleh, yang tentunya akan memberikan kontribusi yang besar bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat,” tutur Rizal
Sumber Kontan, edit koranbumn