Berbagai upaya dilakukan Pertamina untuk mengurangi impor katalis, bahan kimia yang digunakan dalam pengolahan minyak. Salah satunya melalui sinergi yang dilakukan Pertamina dengan Institut Teknologi Bandung dalam mengembangkan teknologi katalis pertama di Indonesia.
Hal tersebut diungkapkan Profesor Subagjo, guru besar ITB yang menjadi salah satu pembicara dalam Forum Group Discussion bertajuk Kemandirian Teknologi Pengolahan Minyak Sawit Menjadi Green Fuel menuju Ketahanan Energi Nasional di Patra Comfort, Bandung (14/1/2019).
Dalam kesempatan itu, Profesor Subagjo menjelaskan kebutuhan katalis untuk pengolahan minyak sebagian besar didapatkan lewat impor. Katalis impor dinilai lebih murah dan praktis dibandingkan harus merisntis pembuatan katalis itu sendiri. Biaya untuk riset dan merintis pembuatan katalis pun membutuhkan biaya yang tidak sedikit dan membutuhkan waktu yang lama.
“Namun demikian, karena kebutuhan katalis di Indonesia juga cukup besar, mencapai 500 juta USD dan hampir seluruhnya diimpor dari luar negeri. Hanya sebagian kecil saja yang dapat diproduksi di dalam negeri dengan membawa lisensi dari luar negeri, maka RTC Pertamina mengajak kami untuk melakukan joint research teknologi katalis,ā ujarnya.
Prof Subagjo mengungkapkan, pada tahun 2004, Pertamina menjalin kerja sama dengan ITB untuk penelitian dan pengembangan katalis Hydrotreating Nafta dilakukan oleh mahasiswa S3 dibantu mahasiswa S2 dan S1, dibawah bimbingan para pakar teknik kimia di ITB. Formula katalis Hydrotreating Nafta dengan kinerja baik diperoleh di Tahun 2007.
Tahun 2010, bersama fungsi Research and DevelopmentĀ Pertamina, katalis tersebut diuji coba menggunakan reaktor skala pilot, dan dinyatakan memiliki aktivitas lebih tinggi dibandingkan katalis komersial. Katalis ini kemudian diberi nama PITN 100-2T,Ā yaitu katalis Pertamina-ITB, dan dijuluki katalis merah putih pertama di Indonesia.
āTahun 2012, setelah pengujian di unit komersial selama 1 tahun, katalis merah putih dinyatakan memiliki unjuk kerja lebih baik dan lebih stabil dibandingkan katalis impor, sehingga Pertamina memutuskan selalu menggunakan katalis hasil pengembangan kerja sama ITB dengan Pertamina untuk proses Hydrotreating, baik untuk nafta, kerosin, maupun diesel,ā paparnya.
Tahun-tahun berikutnya, ITB mengembangkan lebih lanjut katalis PITN 100-2T, seperti PITD 120-1.3T yang merupakan hasil kerjasama Pertamina ITB untuk Treating Diesel (PITD). Dan kemudian berlanjut terbentuknya katalis PIDO 130-1.3T yaitu katalis yang mengkonversi minyak nabati menjadi hidrokarbon parafinik.
Vice PresidentĀ Process & Facility Pertamina Dadi Sugiana menegaskan, hasil joint research yang dilakukan Pertamina dengan ITB ini menjadi salah satu bukti bahwa untuk mengembangkan green fuel demi ketahanan energi nasional, Pertamina tidak bisa jalan sendiri.Ā Tapi semua pihak harus bersinergi.
āKolaborasi sangat dibutuhkan agar green fuel dapat dihasilkan di green refinery. Dan ini membutuhkan proses dan kerja sama yang baik antara berbagai pihak,ā pungkasnya.
Sumber PERTAMINA / edit koranbumn