PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) mengawal agenda ekspansi. Anggota Grup Mining Industry Indonesia (MIND ID) itu berambisi bisa meningkatkan kapasitas produksi aluminium hingga 300.000 ton di tahun 2026.
Direktur Pengembangan Usaha Inalum, Melati Sarnita, mengatakan bahwa peningkatan kapasitas produksi tersebut bertujuan untuk memenuhi permintaan aluminium di pasar.
Dalam agenda ekspansi Inalum, penambahan kapasitas produksi aluminium dari 250 ribu menjadi 300 ribu direncanakan lewat tambahan 25 ribu dari Proyek Pot Optimalisasi dan 25 ribu dari Proyek Pot Upgrading yang saat ini sedang berjalan.
Selain meningkatkan fasilitas eksisting, Inalum juga juga berencana untuk meningkatkan kapasitas dengan penambahan 600.000 ton per tahun (ktpa) smelter baru di Kuala Tanjung, juga melanjutkan proyek Alumina refinery expansion (SGAR) fase 2 di Mempawah Kalimantan Barat.
“Saat ini dalam fase persiapan FID (final investment decision), yang direncanakan pada kuartal II 2024,” kaa Melati.
Melati tidak merinci berapa anggaran yang disiapkan untuk membiayai agenda ekspansi perusahaan. Yang terang, ia mengonfirmasi bahwa sumber pendanaannya berasal dari kas internal Inalum.
“Peningkatan kapasitas produksi ini menggunakan sumber pendanaan internal Inalum,” pungkas Melati.
Sejalan dengan penuturan Melati, kebutuhan aluminium di dalam negeri memang melampaui kapasitas produksi domestik. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, Indonesia masih mengimpor ratusan ribu ton aluminium dan barang daripadanya per tahun, setidaknya di lima tahun terakhir. Nilai impornya tembus US$ 1 miliar saban tahun.
Secara terperinci, volume impor aluminium dan barang daripadanya di 5 tahun terakhir berdasarkan data BPS secara berturut-turut ialah sebesar 814.363,36 ton (atau senilai US$ 2,17 miliar) di 2018, 750.070,71 ton (US$ 1,89 miliar) di 2019, 606.730,26 ton (US$ 1,41 miliar) di 2020, 722.711,86 ton (US$ 2,08 miliar) di 2021, dan 713,821,98 ton (US$ 2,36 miliar) di 2022.
Dus, Indonesia secara kumulatif telah mengimpor 3,60 juta ton aluminium dan barang daripadanya selama 2018-2023 dengan total nilai impor US$ 9,92 miliar selama 2018-2022.
Barangkali, bukan tanpa alasan Indonesia masih mengimpor aluminium. Selain karena kebutuhan yang tinggi, ada pula persoalan keterbatasan kapasitas pengolahan di tingkat hulu.
Berdasarkan data Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi), sumber daya bauksit yang besar yaitu 6,2 miliar ton, sementara cadangannya sebesar 3,2 miliar ton. Dengan angka sumber daya tersebut, Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) memperkirakan daya tahan cadangan bauksit bisa mencapai lebih dari 100 tahun dengan asumsi tingkat kebutuhan saat ini.
Itulah sebabnya, produksi tahunan bauksit Indonesia bisa mencapai hingga 60 juta ton per tahun. Hanya saja, kapasitas input di dalam negeri untuk mengolah/memurnikan bauksit menjadi alumina, yakni senyawa yang bisa diolah lebih lanjut menjadi aluminium, masih terbatas.
Ketua Umum (Ketum) Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi), Rizal Kasli, mengatakan bahwa saat ini pengolahan bijih bauksit di dalam negeri terdiri atas Smelter Grade Alumina (SGA) dengan total kapasitas input 12 juta ton per tahun dan smelter Chemical Grade Alumina (CGA) dengan total kapasitas input 1-2 juta ton per tahun.
Dengan demikian, fasilitas pengolahan bijih bauksit di dalam negeri baru mampu menyerap 13 juta ton – 14 juta ton bijih bauksit per tahun. Itulah sebabnya, investasi pengembangan smelter menjadi penting untuk memaksimalkan potensi bijih bauksit di dalam negeri.
“(Kapasitas pengolahan bauksit) belum bisa (menampung produksi tahunan bijih bauksit) sepanjang belum ada smelter baru,” kata Ronald kepada Kontan.co.id, Rabu (15/11).
Sumber Kontan, edit koranbumnb