Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) telah mengumpulkan dana obligasi patriot senilai Rp50 triliun, yang akan digunakan untuk proyek energi baru dan terbarukan (EBT) dan konversi sampah menjadi energi atau Waste to Energy (WtE)
CEO Danantara Indonesia Rosan Roeslani mengatakan obligasi patriot atau patriot bond merupakan surat utang perdana yang diterbitkan oleh Danantara yang ditargetkan menghimpun dana hingga Rp50 triliun. Patriot bond diterbitkan dalam dua seri, yaitu seri dengan jangka tenor 5 tahun dan 7 tahun. Kedua seri tersebut menawarkan imbal hasil sebesar 2%.
Saat ini, dana yang terkumpul melalui patriot bond akan difokuskan untuk proyek waste to energy yang ditargetkan pada akhir Oktober akan dilakukan tender.
“Ya, pokoknya dananya sudah tercapai Rp50 triliun, fokus untuk waste to energy dan juga energi baru terbarukan. Harapannya pada akhir Oktober ini kami akan mulai proses untuk tendernya Waste to Energy, tetapi untuk patriot bond itu sudah selesai,” ujarnya dilansir Antara, Kamis (2/10/2025).
Managing Director Investment Danantara Investment Stefanus Ade Hadiwidjaja mengatakan estimasi kebutuhan investasi untuk satu titik PSEL berkapasitas 1.000 ton per hari mencapai Rp2 triliun hingga Rp3 triliun. Hal ini mencakup pembangunan infrastruktur pendukung proyek. Adapun proyek waste to energy ini diperkirakan membutuhkan dana hampir Rp100 triliun.
“Bujetnya bisa cukup luas, mungkin untuk kapasitas 1.000 ton per hari, kira-kira antara Rp2 triliun–Rp3 triliun total investasinya, termasuk untuk infrastruktur pendukungnya,” katanya.
Sementara itu, Wakil Menteri Lingkungan Hidup Diaz Hendropriyono mengatakan dalam membangun sistem pengelolaan sampah berbasis teknologi waste to energy dibutuhkan investasi sekitar Rp300 triliun.
“Indonesia saja membutuhkan pendanaan iklim Rp4.700 triliun hingga 2030, sementara yang terealisasikan hanya sekitar Rp76 triliun per tahun. Artinya, ada funding gap yang besar termasuk dalam sektor pengelolaan sampah,” ucapnya dalam keterangan.
Menurutnya, peran pemerintah daerah juga menjadi krusial dalam menyukseskan waste to energy. Pemerintah daerah diminta untuk menyediakan lahan seluas 4 hektare hingga 5 hektare dekat sumber air dan akses transportasi, serta memastikan pasokan minimal 1.000 ton sampah per hari. Pasalnya, PLTSa idealnya akan menghasilkan listrik sebesar 15 megawatt (MW) hingga 20 MW yang berasal dari 1.000 ton sampah per hari.
“Kebutuhan armada atau logistik angkutan sampah 1.000 ton membutuhkan 200 armada atau per armada membawa 5 ton. Kami menghimbau agar pemerintah daerah mengalokasikan setidaknya 3% dari APBD untuk pengelolaan lingkungan. Tanpa komitmen ini, pembangunan waste to energy akan sulit berjalan,” terangnya.
KLH telah memetakan sejumlah daerah yang menjadi prioritas utama dibangunnya pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) melalui program Pengolahan Sampah menjadi Energi Listrik (PSEL) atau waste to energy. Daerah prioritas tersebut yakni Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi, Bandung, Semarang, Yogyakarta, dan Bali.
“Ada kriteria-kriteria khusus yang memang harus kita perhatikan sebelum PSEL itu dibangun seperti lahan sekitar 5 hektare, dekat sumber air, akses jalan, dan minimal sampah 1.000 ton yang disuplai ke PLTSa. Dari 7 lokasi tersebut, Bogor dan Bekasi yang sudah memberikan surat minat resmi kepada Kementerian Lingkungan Hidup,” tuturnya.
Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yuliot Tanjung mengungkapkan diperlukan investasi senilai US$2,72 miliar atau setara Rp45,4 triliun untuk meningkatkan kapasitas PLTSa sebesar 452,7 megawatt (MW) hingga 2034 di Indonesia.
Adapun PLTSa di 33 provinsi bakal mengadopsi teknologi incineration atau direct combustion. Teknologi tersebut lebih efektif untuk membakar sampah yang kemudian bakal menjadi energi panas. Pemilihan teknologi incineration dianggap lebih efektif ketimbang teknologi sebelumnya gasifier yang dipakai pada proyek PLTSa Benowo di Surabaya dan PLTSa Putri Cempo di Surakarta. Pasalnya, teknologi gasifier terbilang sensitif terhadap jenis sampah.
“Teknologi incineration mampu menerima berbagai jenis sampah dengan ketahanan lebih stabil sehingga menghasilkan listrik dengan kapasitas lebih optimal,” ujarnya.
Sementara itu, Direktur Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Safrizal Zakaria Ali menuturkan pemerintah daerah memegang peran penting dalam keberhasilan program ini.
“Penguatan komitmen pemerintah daerah dalam pengelolaan sampah menjadi energi terbarukan menjadi agenda utama dan diharapkan menjadi sarana bagi pemda dalam menyatukan langkah dan komitmen guna menjawab tantangan pengelolaan sampah nasional,” ucapnya.
Dengan teknologi ramah lingkungan, kata dia, pengelolaan sampah tidak lagi dipandang sebagai beban, melainkan dapat menjadi peluang besar untuk menghasilkan energi terbarukan yang bermanfaat bagi masyarakat luas.
Adapun pengelolaan sampah berbasis teknologi modern adalah investasi jangka panjang. Selain mengurangi beban lingkungan, program ini juga dapat membuka peluang ekonomi baru, menciptakan lapangan kerja, sekaligus memperkuat ketahanan energi daerah.
“Semua kepala daerah akan menandatangani komitmen sebagai tanggung jawab kepada masyarakat. Komitmen pemda menjadi kunci utama dalam mewujudkan pengelolaan sampah yang efektif. Dengan kolaborasi dan komitmen bersama, Indonesia bisa menjadi contoh nyata dalam mengubah tantangan lingkungan menjadi peluang energi hijau,” katanya.
Sumber Bisnis, edit koranbumn
















