Danantara Indonesia mengungkap persoalan utama PT Krakatau Steel (Persero) Tbk. (KRAS), khususnya terkait proyek blast furnace yang tidak berjalan optimal dan berujung membebani keuangan.
Danantara melalui holding operasional PT Danantara Asset Management (Persero) diketahui menempatkan Krakatau Steel sebagai salah satu perusahaan pelat merah yang masuk dalam klaster restrukturisasi.
Managing Director Danantara Asset Management, Febriany Eddy, menjelaskan bahwa persoalan Krakatau Steel adalah adanya investasi besar di dalam proyek blast furnace yang pada akhirnya meninggalkan beban utang tinggi.
Dia menuturkan proyek blast furnace awalnya dirancang untuk memperkuat posisi Krakatau Steel di industri baja dengan memperluas bisnis ke hulu. Namun, eksekusi proyek tersebut tidak berjalan sesuai dengan rencana.
“Eksekusinya pada saat ini kurang baik, sehingga ketika proyek selesai pabriknya malah rugi dan mau tidak mau ditutup lagi. Akhirnya keputusan ini menyisakan utang yang luar biasa,” ujarnya di Jakarta, Jumat (14/11/2025).
Blast furnace atau dikenal peleburan baja tanur tinggi adalah teknologi pengolahan baja dari bahan baku pasir besi dengan bahan bakar batu bara untuk menghasilkan produk baja setengah jadi berupa billet, slab, dan beam blank.
Berdasarkan catatan Bisnis, proyek ini dimulai pada 9 Juli 2012 dan dikerjakan oleh konsorsium kontraktor lokal PT Krakatau Engineering serta kontraktor asing, Capital Engineering and Research Incorporation Limited (MCC-CERI).
Total biaya kontrak yang diteken untuk MCC-CERI sebesar US$334,9 juta dan Rp1,81 triliun untuk PT Krakatau Engineering. Ketika proyek digarap, KRAS merogoh kas internal 28% dan sisanya ditutupi dari pinjaman bank.
Sementara itu, mengacu laporan keuangan akhir September 2025, KRAS tercatat memiliki beban pokok pinjaman jangka panjang kepada perbankan sebesar US$1,91 miliar atau setara dengan Rp19,91 triliun.
Dengan beban utang yang tinggi, Febriany mengatakan Krakatau Steel kini kesulitan memperoleh akses kredit termasuk untuk kebutuhan modal kerja. Bahkan, pembelian bahan baku harus menggunakan pembiayaan dengan bunga.
Tekanan ini semakin diperparah oleh kebakaran fasilitas hot strip mill (HSM), dalam dua tahun terakhir, sehingga produksi KRAS tidak dapat berjalan optimal.
“Akhirnya dengan segala keterbatasannya, saat ini mereka [Krakatau Steel] beroperasi hanya sepertiga dari kapasitasnya,” pungkas Febriany.
Dia menilai bahwa Krakatau Steel sejatinya masih memiliki peluang bersaing jika dapat kembali beroperasi secara normal. Namun, keberhasilan tersebut bergantung pada disiplin manajemen dalam meningkatkan efisiensi.
Untuk itu, tahap pertama penanganan Krakatau Steel yang sedang dikaji Danantara adalah pemberian modal kerja. Meski demikian, besaran kebutuhan modal belum dapat diungkap karena masih dalam proses evaluasi.
Disclaimer: Berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab atas kerugian atau keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca
Sumber Bisnis, edit koranbumn
















