Berangkat dari dedaunan dan ranting di sekitar lingkungan, Irfan Kristiyanto membuktikan bahwa bahan sederhana berbasis alam bisa diolah menjadi produk bernilai tinggi yang menembus pasar global, dari Eropa hingga Rusia.
Ia berhasil membuat kain, pakaian, tas, sepatu hingga home decor bercorak alam yang unik dengan merek Jarihitam Ecoprint. Bisnis ini berdiri pada 2018, diawali rasa penasaran Irfan terhadap teknik ecoprint yang kala itu nyaris belum dikenal di Indonesia. Informasi di internet sangat terbatas.
Dengan modal awal sekitar Rp 25 juta yang dikumpulkan bertahap, Irfan mulai menekuni ecoprint secara serius. Selama dua bulan penuh, ia bereksperimen dengan teknik, media kain, dan daun.
Melalui uji coba yang dilakukan berkali-kali, dia akhirnya bisa menemukan teknik dan formula yang tepat untuk memanfaatkan bahan baku dari lingkungan di sekitar rumahnya menjadi produk bernilai tinggi.
“Saya berpikir ini sangat menarik sekali, karena bahan bakunya dari lingkungan, semuanya ada di sekitar kita. Dan isunya sangat seksi, sampai kapan pun ecoprint tidak akan pernah mati,” ujar Irfan.
Sejak awal, Irfan melihat ecoprint bukan sekadar produk, tetapi ekosistem bisnis. Maka tiga bulan memulai bisnis Jarihitam Ecoprint, dia memberanikan diri membuka kelas untuk memperkenalkan ecoprint ke masyarakat sekitar.
Tujuannya, agar bisnis dan alam berkelanjutan. Sebab, penjualan boleh berkembang, tetapi kesinambungan alam harus dijaga. Pola ini pula yang membuat Jarihitam tidak hanya menjual produk, tetapi juga pengetahuan dan pendampingan.
“Ketika saya mengajar dan mengajak orang banyak untuk belajar ecoprint, harapannya banyak orang yang akan menanam. Kita harus menjaga kesinambungan, harus menanam. Saya sebagai mentor menekankan bahwa kita jangan cuman hanya mengambil daun, lalu habis dan pindah tempat. Itu sama saja seperti hama,” jelas dia.
Komersialisasi Jarihitam dimulai sejak 2018 lewat pameran-pameran offline. Irfan sengaja tidak langsung masuk pasar online. Menurutnya, ecoprint perlu disentuh dan dirasakan.
Sementara langkahnya ke pasar global pun dimulai saat Dinas Industri Perdagangan Provinsi (Disperindag) Jawa Barat memboyong Jarihitam dalam misi dagang. Dari sana, pintu-pintu ekspor terbuka.
Belgia menjadi negara pertama yang disambangi pada 2018, disusul Perancis dan Jerman pada 2019, lalu Selandia Baru pada 2020. Kerja sama ekspor terpanjang dijalani dengan buyer dari Rusia dengan menjual kain buatannya pada periode 2024-2025, dan masih akan berlanjut.
Seiring meningkatnya permintaan, Irfan sadar ia tak bisa berjalan sendiri. Solusinya bukan pabrik besar, melainkan komunitas. Warga sekitar dilibatkan, mulai dari penjahit hingga penyedia bahan.
Ia juga bekerja sama dengan Koperasi Pemasaran Tlatah Nusantara Raya dan Jasa Raharja, sebagai anggota Holding Indonesia Financial Group (IFG), memberikan pelatihan kepada para ahli waris korban kecelakaan lalu lintas. Murid-murid ecoprint yang dia dampingi juga menjadi bagian dari rantai produksi.
Melalui Tlatah Nusantara Raya yang memiliki delapan butik di sejumlah hotel di Bandung, produk-produk Jarihitam Ecoprint turut dipasarkan secara berkelanjutan.
Sebagai bisnis handmade, Irfan mengaku omzet Jarihitam tidak terlalu besar. Rata-rata berkisar Rp 40-50 juta per bulan. Namun baginya, nilai utama bukan sekadar angka, melainkan dampak sosial dan lingkungan.
Hingga kini, permodalan Jarihitam sepenuhnya mandiri, namun Irfan membuka kemungkinan mencari pendanaan lebih besar jika skalanya memang dibutuhkan. Untuk pasar ekspor, ia berharap pintu-pintu baru kembali terbuka. Eropa dan Rusia masih menjadi target, seiring kesiapan bahan baku dan kapasitas produksi berbasis komunitas.
“Tahun depan harapannya, akan terbuka pintu-pintu rezeki yang lain. Dulu saya berpikir kalau dapat order banyak itu akan kewalahan kalau saya kerjakan sendiri. Tapi setelah saya punya banyak murid, berapa pun oder yang masuk, saya siap,” kata Irfan.
Kepala Bagian Administrasi Jasa Raharja Kanwil Utama Jawa Barat, Yudi Wiryawan mengatakan, Jarihitam Ecoprint sebelumnya merupakan salah satu UMKM binaan Jasa Raharja yang berhasil berkembang.
Oleh karena itu, Jasa Raharja mempercayakan proses mentoring ahli waris kepada Irfan. Berkolabosari dengan Koperasi Pemasaran Tlatah Nusantara Raya, ada sekitar 30 ahli waris yang telah mengikuti pelatihan Jarihitam Ecoprint.
Menurut Yudi, keunggulan ecoprint terletak pada pendampingan yang dilakukan secara menyeluruh, mulai dari hulu hingga hilir. Peserta tidak hanya dibekali keterampilan produksi, tetapi juga dibimbing hingga produknya siap dipasarkan.
Dengan adanya jejaring produksi dan pemasaran yang kuat, Jasa Raharja berharap program ini tidak hanya meningkatkan keterampilan ahli waris, tetapi juga membuka peluang ekonomi jangka panjang dan mencegah mereka jatuh ke dalam kemiskinan akibat kehilangan anggota keluarga.
“Tujuan kami adalah pemberdayaan ekonomi. Banyak ahli waris yang kehilangan tulang punggung keluarga akibat kecelakaan. Melalui diklat dan pelatihan wirausaha ini, kami ingin ekonomi mereka tetap hidup dan memiliki sumber penghasilan baru,” ujar Yudi.
Heni Nurelah, salah satu ahli waris peserta pelatihan, mengaku mendapat pengalaman baru dari proses pembuatan ecoprint yang seluruhnya dilakukan secara manual dan penuh ketelatenan. Ia menjelaskan, sejak awal peserta dilatih mulai dari menyiapkan kain polos hingga menyusunnya menjadi karya seni bermotif alam.
“Prosesnya dari awal sampai akhir bisa memakan waktu sekitar satu minggu, mulai dari kain polos sampai menjadi kain ecoprint. Setiap daun, bunga dan ranting-ranting itu bisa dimanfaatkan,” kata dia.
Asta Nusa Warna dan KALDO, Meracik Aroma dari Hulu ke Hilir
Selama lebih dari dua dekade, Asta Nusa Warna menjalankan usaha berbasis minyak atsiri dan rempah secara bertahap. Dari aktivitas awal di sektor aroma, usaha ini kini berkembang hingga memiliki produk turunan yang masuk ke segmen hotel dan memasok bahan baku untuk pasar ekspor.
Founder Asta Nusa Warna, Jejen Ahmar Jaenun, mengatakan setelah 24 tahun berjalan, perusahaannya mulai fokus mengembangkan produk bernilai tambah, meski masih terus dalam tahap penyempurnaan. “Kami mencoba melakukan pengembangan dan alhamdulillah sudah ada beberapa produk yang terwujud. Tapi memang ini proses yang terus disempurnakan,” ujar Jejen.
Dalam perjalanannya, Asta Nusa Warna juga mendapat pendampingan promosi melalui program aktivasi UMKM yang difasilitasi Jasa Raharja, anggota Holding IFG. Melalui sejumlah kegiatan, Jejen mengaku mendapatkan ruang belajar untuk meningkatkan kualitas produk dan memperluas pasar.
Saat ini, produk turunan Asta Nusa Warna telah hadir di sekitar delapan hotel di Bandung, dengan skema pemasaran yang difasilitasi Jasa Raharja bersama Koperasi Pemasaran Tlatah Nusantara Raya.
Jejen menjelaskan, pada awalnya Asta Nusa Warna hanya bergerak di sektor aroma seperti vanila, cengkeh, kapulaga, dan nilam. Produksi dimulai dari penyulingan di Garut, kemudian dilanjutkan dengan pengolahan lanjutan dan kontrol kualitas di Bandung.
Rata-rata produksi mencapai 500 kilogram (kg) minyak nilam per minggu, yang sebagian besar diserap industri ekspor sebagai bahan baku parfum dan farmasi, terutama ke Amerika Serikat. Namun, Jeje bilang tingginya permintaan ekspor minyak nilam mendorong perusahaan untuk mengembangkan produk turunan sendiri.
“Nilam ini unsur utama minyak parfum dunia. Sekitar 85 persen pasokan berasal dari Indonesia, dan salah satu unggulan Jawa Barat juga nilam,” kata Jejen.
Pengembangan di sektor hilir dilakukan melalui KALDO, brand produk jadi yang mengolah minyak atsiri dari Asta Nusa Warna menjadi produk siap pakai. Founder KALDO, Catarina yang juga istri Jejen, menjelaskan KALDO mulai berdiri pada Oktober 2022.
“KALDO itu dari hulu ke hilir. Bahan bakunya dari Asta Nusa Warna, lalu kami olah menjadi produk konsumen,” ujarnya.
KALDO memiliki lima kategori produk, mulai dari natural blended essential oil, diffuser oil, parfum, hand soap, hingga collagen hand soap. Beberapa pengembangan produk juga lahir dari masukan pihak hotel yang menginginkan varian pengharum ruangan dan parfum, meski aroma tetap dikunci pada empat karakter utama.
Untuk pemasaran, KALDO saat ini menyasar segmen hotel. Dalam skema tersebut, KALDO hanya menempatkan produk, sementara booth dan tenaga penjual (SPG) disiapkan oleh Koperasi Pemasaran Tlatah Nusantara Raya. “Kalau di hotel, kami tinggal masukin produk. Booth dan SPG sudah difasilitasi koperasi,” kata Catarina.
Meski bahan bakunya telah menembus pasar ekspor, KALDO masih memasarkan produk jadinya secara terbatas. Hal ini seiring dengan proses perizinan, termasuk BPOM, yang masih berjalan.
Penjualan produk jadi KALDO saat ini berkisar 150-250 unit per bulan, dengan produk yang paling banyak diminati adalah diffuser oil, parfum, dan minyak angin hijau. Pemasaran lebih banyak mengandalkan pengalaman langsung konsumen dan testimoni, terutama dari tamu hotel.
Dari sisi permodalan, KALDO dan Asta Nusa Warna mengandalkan skema bootstrapping, tanpa pinjaman bank. Saat ini, KALDO mempekerjakan lima karyawan tetap dan dapat menyerap hingga 20-30 tenaga kerja tambahan saat pesanan meningkat.
Ke depan, baik Asta Nusa Warna maupun KALDO berharap pendampingan yang diterima dapat memperkuat kapasitas usaha, melengkapi perizinan, dan membuka peluang pasar yang lebih luas. “Persaingannya memang sulit, tapi peluang tetap ada. Yang penting kami terus belajar dan mengembangkan produk,” kata Jejen.
Tlatah Nusantara Pastikan Standarisasi Produk UMKM
Founder Koperasi Pemasaran Tlatah Nusantara Raya, Agus Riki mengatakan, seluruh UMKM yang tergabung, termasuk Jarihitam Ecoprint dan KALDO, telah dibekali standarisasi khusus agar produk yang dihasilkan layak masuk ke jaringan hotel. Standar tersebut mencakup kualitas produk hingga penyesuaian dengan kebutuhan pasar hotel.
“Secara standarisasi UMKM ini, alhamdulillah semuanya sudah memiliki standar khusus seperti apa produk yang bisa masuk di sebuah hotel. Karena itu, kami juga memberikan pendampingan khusus kepada teman-teman UMKM agar bisa mengikuti kebutuhan hotel,” ujar Riki.
Pendampingan dilakukan secara berkelanjutan, mulai dari proses produksi hingga penyesuaian produk agar selaras dengan karakter dan kebutuhan masing-masing hotel. Langkah ini menjadi strategi untuk memperluas akses pasar UMKM, tidak hanya di tingkat lokal, tetapi juga nasional.
Keberadaan produk UMKM di butik-butik hotel diharapkan mampu membuka peluang bertemu dengan pembeli dari luar Kota Bandung. Riki optimistis, jalur ini dapat mendatangkan purchase order dalam jumlah besar dari buyer luar daerah.
“Harapannya, dari butik hotel ini kita bisa mendapatkan buyer-buyer dari luar Bandung dengan purchase order yang banyak. Dampaknya tentu akan sangat besar bagi teman-teman UMKM agar terus berproduksi dan mendapatkan pesanan berkelanjutan,” kata Riki.
Melalui strategi tersebut, Koperasi Pemasaran Tlatah Nusantara Raya menargetkan UMKM binaannya mampu naik kelas, memiliki pasar yang lebih luas, serta berkontribusi lebih besar terhadap penguatan ekonomi daerah.
IFG Ungkap Peran UMKM dalam Menghidupkan Rantai Ekonomi
Keterlibatan Jasa Raharja dalam pemberdayaan UMKM tidak berdiri sendiri, melainkan menjadi bagian dari strategi besar IFG, sebagai holding BUMN asuransi, penjaminan, dan investasi, yang memandang UMKM sebagai fondasi penting pertumbuhan ekonomi nasional.
Melalui keterlibatan anak usaha seperti Jasa Raharja dalam program pemberdayaan, IFG ingin mendorong UMKM naik kelas sekaligus memperkuat mata rantai ekonomi dari hulu ke hilir.
Sekretaris Perusahaan Indonesia Financial Group (IFG), Denny S Adji mengatakan di balik aktivitas usaha yang tampak sederhana, tersimpan ekosistem ekonomi yang menghidupkan banyak pihak.
Pada satu unit usaha UMKM ada mata rantai panjang yang saling terhubung, mulai dari petani, pemasok bahan baku, hingga pelaku usaha pendukung lain.
Seperti halnya ekosistem usaha aroma terapi yang melibatkan banyak pelaku, mulai dari petani bahan baku, pengrajin, hingga sektor angkutan yang memastikan pasokan sampai ke tempat produksi.
“Usaha seperti ini, meskipun tidak selalu berskala besar, namun memiliki kontribusi nyata dalam menggerakkan perekonomian dan menghidupi banyak pihak. Misalnya kapulaga, petaninya berbeda dengan yang menyuplai akar wangi, dan berbeda lagi dengan yang menyuplai vanila. Masing-masing memiliki ekosistem yang saling terhubung dan bernilai,” ujarnya.
Ekosistem serupa juga terlihat pada Jarihitam Ecoprint, dari dedaunan dan proses manual, usaha ini tidak hanya melibatkan pengrajin dan penjahit, tetapi juga masyarakat sekitar sebagai penyedia bahan dan mitra produksi. Dari proses yang tampak sederhana itu, produk Jarihitam justru mampu menembus pasar ekspor hingga Rusia.
“Karyanya mampu menembus pasar ekspor hingga Rusia. Awalnya, pembeli dari Rusia mengenalnya melalui produk sepatu, lalu kerja sama berkembang. Material yang dipasok dari sini berupa kain, yang kemudian diolah di Rusia menjadi berbagai produk bernilai tambah seperti pakaian,” kata Denny.
Menurut Denny, keberhasilan UMKM tidak hanya diukur dari besaran omzet, melainkan dari dampak berantai atau trickle down effect yang dihasilkan. Tentang bagaimana aktivitas usaha tersebut mampu menggerakkan ekosistem ekonomi dan memberi manfaat luas bagi berbagai pihak.
“Penilaian terhadap UMKM tidak cukup hanya melihat omzet. Jauh lebih penting dari itu adalah bagaimana pergerakan usaha tersebut menghidupkan ekosistem di sekitarnya. Di situlah makna ekonomi, dan di situlah jalan keberhasilan para pengusaha mikro dan ritel,” ujarnya.















