Instrumen kontrak investasi kolektif efek beragun aset (KIK-EBA) kian diminati emiten BUMN sebagai sumber pendanaan di tengah suku bunga tinggi. Sejumlah emiten pelat merah yang pernah menerbitkan skema utang ini adalah Bank Tabungan Negara (BBTN), Bank Mandiri dan Jasa Marga (JSMR).
Yang teranyar, Garuda Indonesia (GIAA) juga menempuh cara serupa. Pekan lalu, perusahaan maskapai ini meraih dana Rp 1,8 triliun melalui EBA Mandiri GIAA01. Aset dasar yang dijaminkan yaitu pendapatan penerbangan rute Jeddah dan Madinah pada penerbangan haji.
Direktur Utama Garuda Indonesia Pahala Nugraha Mansury mengatakan, penerbitan EBA dilakukan untuk mengubah portofolio surat utang yang sudah jatuh tempo pada awal Juli lalu, senilai Rp 2 triliun dan menggantinya dengan utang jangka panjang. “Juga mengganti kewajiban kepada bank dari jangka pendek menjadi jangka panjang,” ujar Pahala, Jumat (29/7).
Berdasarkan laporan keuangan GIAA kuartal I-2018, jumlah liabilitas jangka pendek mencapai Rp 2,19 triliun dan liabilitas jangka panjang hanya Rp 890,15 miliar.
Masih di tahun ini, BTN juga telah menerbitkan EBA senilai Rp 2 triliun lewat sekuritisasi aset KPR. Direktur Keuangan BTN, Iman Nugroho Soeko menyebut, pihaknya menjual putus portofolio KPR BTN, sehingga hasil penjualan EBA bukan merupakan pinjaman yang harus dikembalikan. “EBA memberikan kesempatan kami untuk realisasi KPR sebanyak Rp 2 triliun tanpa harus menggerus CAR (rasio kecukupan modal),” ujar dia, Minggu (29/7).
Selain itu, EBA menjadi sumber fee based income dari fungsi BTN sebagai servicing agent. Maklum saja, yield rata-rata KPR yang dijual secara EBA sebesar 12,5%, sedangkan bunga EBA yang dibayarkan 8,5%. Artinya, ada selisih atau margin 4% yang setelah dikurangi biaya-biaya akan masuk dalam pendapatan servicing agent.
Lanjut Iman, BTN juga tertarik merilis EBA, karena mekanisme penerbitan lebih mudah dibandingkan obligasi. Ongkosnya pun lebih ringan dibandingkan obligasi yang harus bayar kupon.
Risiko penerbitan EBA juga lebih terkendali, sebab aset yang diagunkan sudah terseleksi dengan yang baik. Alhasil,kupon yang diminta investor lebih rendah dari obligasi. “Kami akan rutin menerbitkan EBA. Tahun depan dengan jumlah yang tak jauh berbeda dengan tahun ini,” ujar Iman.
Pendanaan cepat
Muhammad Alfatih, Analis Samuel Sekuritas Indonesia, menilai, saat ini, ambisi BUMN cukup besar terutama bagi percepatan proyek infrastruktur. Tentu ini memerlukan dana yang tidak sedikit, sehingga wajar utang ikut membengkak. “Harus dicari sumber lain. Berutang dari bank asumsinya terlalu optimistis. Jadi dengan adanya EBA cukup baik untuk mengubah struktur utang,” kata dia.
Hans Kwee, Direktur Investa Saran Mandiri, menambahkan, bila emiten mencari pinjaman melalui bank, biasanya bank mematok syarat rasio utang atau debt equity rasio (DER) tertentu. Penyertaan modal di BUMN juga rumit, karena ada mekanisme di DPR dan dana pemerintah terbatas serta selektif. Padahal, emiten pelat merah butuh dana untuk ekspansi proyek.
Itu sebabnya, kata Hans, emiten lantas mencari skema lain. EBA menjadi salah satu solusi, karena seolah-olah menjual aset dengan cara sekuritisasi, sehingga emiten mendapatkan dana cash untuk ekspansi.
EBA dan obligasi sepintas mirip, namun EBA lebih baik karena tidak mengubah struktur modal. Perizinan juga lebih mudah ketimbang obligasi.
Analis Fixed Income MNC Sekuritas I Made Adi Saputra menambahkan, EBA menjadi solusi bagi emiten yang butuh dana cepat di tengah kinerja yang menurun. Contoh, GIAA yang merugi US$ 65,34 juta di kuartal I-2018. “Kalau kinerja keuangannya memburuk, menerbitkan obligasi biasa agak berat karena peringkatnya tidak bagus,” kata dia.
Tapi, lanjut Made, tidak sembarang emiten bisa menerbitkan EBA. Selain dituntut memiliki arus kas yang solid, emiten tersebut juga harus memiliki aset pendapatan yang besar sekaligus stabil untuk dijadikan aset dasar instrumen EBA.
Sumber Kontan.co.id