Kurs rupiah terus melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) akhir-akhir ini, bahkan sempat menyentuh level Rp 16.000 per dolar AS. Sentimen ini menjadi perhatian bagi emiten-emiten tambang batubara dalam mengelola utang valas, salah satunya PT Bukit Asam Tbk ( PTBA ).
Berdasarkan laporan keuangan tahunan 2019, PTBA memiliki nilai utang usaha secara keseluruhan sebesar Rp 1,02 triliun atau turun tipis 1,92% (yoy) dibandingkan tahun 2018 lalu sebesar Rp 1,04 triliun.
Dari jumlah tersebut, PTBA memiliki utang usaha dolar AS kepada pihak ketiga sebesar Rp 58,70 miliar di tahun lalu atau tumbuh 374,53% (yoy) dari tahun sebelumnya sebesar Rp 12,37 miliar. Adapun utang usaha dolar AS PTBA kepada pihak berelasi mencapai Rp 57,62 miliar alias naik 6,03% (yoy) dari tahun 2018 sebesar Rp 54,34 miliar.
Sekretaris Perusahaan PTBA Hadis Surya Palapa mengaku, utang PTBA dalam mata uang dolar AS yang tercantum di laporan keuangan adalah milik cucu perusahaan, yakni PT Satria Bahan Sarana (SBS). Perusahaan ini bergerak di bidang kontraktor tambang.
“Utang ini merupakan sisa utang lama milik PT SBS. Di luar itu, grup PTBA tidak memiliki utang dalam bentuk dollar AS,” ujar dia, Jumat (20/3).
Sayangnya, ia tidak menjabarkan secara rinci waktu jatuh tempo utang berdenominasi dollar AS tersebut.
Terkait risiko pelemahan rupiah, PTBA melakukan upaya mitigasi utang dolar AS berupa pelunasan sebagian utang tersebut dengan cara konversi ke pinjaman dalam mata uang rupiah.
Secara umum, koreksi rupiah justru menjadi peluang bagi PTBA mengingat kinerja keuangan perusahaan ini cukup didominasi oleh mata uang dolar AS.
Hadis bilang, sekitar 40% penjualan batubara PTBA diekspor ke luar negeri, sehingga perusahaan akan memperoleh bayaran dalam bentuk dolar AS. Kondisi ini membuat PTBA tidak melakukan strategi hedging secara khusus ketika kurs rupiah anjlok.
“Di sisi lain, nilai transaksi PTBA untuk impor dan pembayaran berbasis dolar AS sangat kecil,” kata dia.
Sumber KOntan, edit koranbumn