Di tengah sentimen penyebaran pandemi Covid-19 yang memporak-porandakan situasi pasar, emiten tambang logam PT Aneka Tambang Tbk. semakin waspada agar sentimen tersebut tidak berdampak signifikan pada kinerja perseroan.
Mengutip publikasi laporan keuangan perseroan, emiten berkode saham ANTM itu menjelaskan sulit untuk memprediksi dampak jangka panjang sentimen pandemi itu terhadap kinerja operasional perseroan. Kendati demikian, berbagai sinyal potensi perlambatan kinerja pada tahun ini sudah mulai tampak.
Pada kuartal pertama tahun ini, harga emas global terus menunjukkan tren penguatan, yaitu berhasil naik 7,5 persen dan menyentuh level tertinggi sejak 2013 di level US$1.700 per troy ounce.
Sementara itu, harga nikel justru berbanding terbalik dengan bergerak melemah hingga 19,89 persen dan sempat menyentuh level terendah US$10,867 per ton, dibandingkan dengan harga penutupan tahun lalu di US$14.000 per ton.
Harga emas yang menguat dapat melemahkan permintaan terhadap emas fisik, dan harga nikel yang rendah dapat menggerus margin perseroan, sehingga pendapatan pun kemungkinan akan ikut terkoreksi.
Selain itu, pada kuartal I/2020 rupiah juga telah melemah secara signifikan terhadap dolar AS dan membuat perseroan mencatatkan rugi selisih kurs lebih tinggi dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
“Manajemen akan terus memantau peristiwa ini dan mengambil tindakan yang diperlukan untuk mengatasi risiko dan ketidakpastian di masa depan,” tulis manajemen PT Aneka Tambang Tbk.
Di sisi lain, SVP Corporate Secretary Aneka Tambang Kunto Hendrapawoko mengatakan bahwa akan mengoptimalkan produksi dan penjualan komoditas perusahaan di tengah kondisi pandemi Covid-19 saat ini.
“Kami masih mengharapkan perusahaan dapat menghasilkan capaian pendapatan dan laba yang positif di tahun 2020,” ujar Kunto
Untuk diketahui, pada 2019 laba tahun berjalan yang dapat diatribusikan kepada entitas induk menyusut 88,2 persen menjadi hanya sebesar Rp193,85 miliar dibandingkan dengan perolehan pada tahun sebelumnya sebesar Rp1,63 triliun.
Padahal, ANTM mencatatkan penjualan sebesar Rp32,7 triliun pada 2019, lebih tinggi 29,4 persen dibandingkan dengan perolehan pada 2018 sebesar Rp25,27 triliun.
STRATEGI ANTAM
Untuk memperbaiki kinerja tersebut, Kunto mengatakan bahwa perseroan akan fokus melaksanakan proyek strategis utama.
Proyek tersebut adalah penyelesaian konstruksi pabrik royek Pembangunan Pabrik Feronikel Halmahera Timur (P3FH), pembangunan pabrik SGAR Mempawah yang diharapkan memasuki tahap konstruksi pada tahun ini, dan inisiasi pembangunan pengolahan NPI di Halmahera Timur yang bekerjasama dengan mitra strategis.
Adapun, sampai dengan Desember 2019 pembangunan smelter nikel di Halmahera Timur atau P3FH sudah mencapai 97,75 persen.
Saat ini proyek tersebut masih dalam proses penyelesaian konstruksi tahap akhir dan perseroan berkomitmen terhadap penyelesaian serta memastikan pabrik feronikel Haltim akan berjalan pada 2020.
Sementara itu, seiring dengan selesainya proses akuisisi keseluruhan saham PT Indonesia Chemical Alumina (PT ICA) oleh perseroan, ANTM telah mengkonsolidasi secara penuh laporan keuangan PT ICA.
Pada 2019, PT ICA telah memproduksi alumina sebesar 104.000 ton dengan tingkat penjualan sebesar 71.000 ton.
Perolehan tersebut jauh lebih besar dibandingkan dengan capaian 2018, yaitu produksi hanya mencapai 13.000 ton dan penjualan sebesar 8.000 ton.
“Di tengah tantangan pengoperasian pabrik serta aspek pemasaran produk dalam kondisi harga jual yang berfluktuasi, komoditas alumina diharapkan mampu memberikan kontribusi yang semakin positif bagi kinerja perseroan pada tahun ini,” papar Kunto.
Pertumbuhan kinerja emiten tambang logam PT Aneka Tambang Tbk. (ANTM) diproyeksi tidak akan begitu impresif pada tahun ini seiring dengan harga emas global yang naik tajam.
Direktur PT Mega Anugrah Investama Hans Kwee mengatakan bahwa naiknya harga emas dalam beberapa perdagangan terakhir akan membatasi minat pembelian emas fisik oleh konsumen. Dengan demikian, volume penjualan yang berhasil dibukukan ANTM dengan baik pada 2019 kemungkinan tidak akan kembali terjadi pada tahun ini.
“Kinerja penjualan ANTM mungkin tidak akan bergerak lebih baik daripada tahun lalu, tetapi juga tidak akan lebih buruk dari tahun lalu. Jadi kemungkinan besar akan cenderung flat tahun ini, karena konsumsi emas fisik akan menurun seiring dengan harganya yang mahal,” ujar Hans Kwee saat dihubungi.
Untuk diketahui, pada perdagangan Kamis (16/4/2020) hingga pukul 19.00 WIB, harga emas spot bergerak di level US$1.735 per troy ounce, naik 1,05 persen. Sepanjang tahun berjalan 2020, harga emas telah terapresiasi hingga 15,87 persen.
Mengutip publikasi laporan keuangan perseroan, ANTM mencatatkan penjualan sebesar Rp32,7 triliun pada 2019, lebih tinggi 29,4 persen dibandingkan dengan perolehan pada 2018 sebesar Rp25,27 triliun.
Adapun, kontribusi penjualan terbesar masih berasal dari komoditas emas dengan nilai penjualan sebesar Rp22,46 triliun naik 34,4 persen daripada perolehan 2018. Jumlah tersebut merupakana 69 persen dari total penjualan ANTM pada 2019.
Lebih lanjut, penjualan feronikel pada 2019 senilai Rp4,87 triliun, bijih nikel Rp3,7 triliun, bijih bauksit Rp758 miliar, aluminia senilai Rp547,3 miliar, perak senilai Rp151,96 miliar, batu bara Rp50,4 miliar, dan logam lainnya Rp2,2 miliar.
Kendati demikian, Hans Kwee secara jangka panjang prospek kinerja ANTM masih sangat baik, mengingat kebutuhan nikel sebagai bahan baku baterai kendaraan listrik akan semakin marak dalam jangka panjang.
Saham ANTM pun masih sangat menarik untuk dikoleksi di antara tiga emiten tambang berpelat merah lainnya, seperti PT Bukit Asam Tbk (PTBA) dan PT Timah Tbk. (TINS). Dengan masih berlangsungnya tren kenaikan harga emas saat ini, saham ANTM pun umumnya berpotensi terkena imbas untuk ikut berkilau.
Pada penutupan perdagangan Kamis (16/4/2020), saham ANTM parkir di level Rp505 per saham, terkoreksi 3,81 persen. Sepanjang tahun berjalan 2020, ANTM telah terkoreksi 39,88 persen.
Sumber Bisnis, edit koranbumn