Direktur Utama Garuda Indonesia (GIAA) Irfan Setiaputra menyebut, protokol penerbangan saat ini yang mengharuskan physical distancing di dalam pesawat dinilai memberatkan maskapai.
Belum lagi kewajiban setiap penumpang untuk menyertakan surat bebas Covid-19 lewat tes swab polymerase chain reaction (PCR).
Irfan mengusulkan agar syarat bagi masyarakat yang ingin menggunakan jasa transportasi udara di era new normal cukup mencantumkan surat keterangan bebas Covid-19 berdasarkan hasil rapid test saja.
Menurut Irfan, tes cepat juga sudah dirasa cukup untuk menjadi syarat calon penumpang agar bisa melakukan perjalanan penerbangan.
“Kami berharap protokol disederhanakan dengan cukup mewajibkan penumpang melakukan rapid test sebelum penerbangan. Layanan ini, dapat disediakan maskapai sehingga penumpang tidak perlu repot-repot mencari tempat pengecekan yang hingga saat ini masih sulit didapatkan. Saya juga berharap Kemenhub dan Gugus Tugas akan mengeluarkan policy (peraturan) baru new normal yang memungkinkan kami lebih terelaksasi dalam melakukan penerbangan ke depan,” kata Irfan saat konferensi pers secara virtual, Jumat (5/6).
Biaya pengetesan Covid-19 dengan metode uji swab berbasis PCR tidak murah. Tes PCR dan Rapid Test dinilai lebih mahal ketimbang harga tiket pesawat. Ini bisa berdampak pada minat masyarakat memakai angkutan udara yang sudah terpuruk karena corona.
Asal tahu saja, calon penumpang perlu merogoh kocek Rp 1,8 juta-Rp 2,5 juta untuk sekali tes PCR dan Rapid Test seharga Rp 300 ribu-Rp 500 ribu. Harga itu dianggap jauh lebih mahal dari harga tiket pesawat yang dibeli calon penumpang itu sendiri.
“Sebenarnya saya tidak mengeluh, berharap harga PCR turun, jangan sampai harga keterangan yang menunjukkan Anda sehat lebih mahal dibanding harga terbangnya. Sehingga tidak memberatkan teman-teman yang mau terbang,” ujar Irfan.
Sesuai dengan surat edaran Gugus Tugas Nomor 5 tahun 2020, masyarakat diberi pilihan untuk menggunakan tes polymerase chain reaction (PCR), rapid test atau surat keterangan bebas gejala influenza jika di wilayahnya tidak tersedia fasilitas PCR dan rapid test.
Menurutnya, tidak semua wilayah mempunyai alat PCR. Dengan keterbatasan tersebut, nantinya masyarakat yang membutuhkan jasa transportasi penerbangan akan kesulitan memenuhi syarat-syarat yang diperlukan. “PCR tidak ada di semua tempat, rapid test juga tidak di semua tempat,” kata Irfan.
Oleh karena itu Irfan menyampaikan bahwa pihak Maskapai Garuda Indonesia berencana menyiapkan rapid test Covid-19 bagi penumpang yang akan melakukan penerbangan.
“Filosofinya, orang yang naik pesawat itu sehat, karena itu kita menyaring dan Gugus Tugas juga sudah mensyaratkan orang tidak boleh melakukan perjalanan kalau belum punya rapid test,” katanya.
Dalam menyambut tatanan normal baru, Garuda juga tengah menyiapkan protokol pelayanan baru. Seperti pemakaian face shield dan masker oleh awak kabin dan peningkatan sterilisasi alat makan dalam kabin.
Ke depan, minuman dalam pesawat hanya akan disediakan dalam bentuk botol bersegel untuk menghindari penggunaan gelas dan wadah makan lainnya.
Selain itu, tidak ada lagi bacaan dalam bentuk fisik seperti brosur, majalah, dan koran di dalam pesawat. Sebagai gantinya akan disediakan bacaan dalam bentuk digital. Upaya tersebut menjadi salah satu cara untuk menghindari penularan Covid-19 terhadap penumpang.
“Dari pihak Garuda berpikir untuk mencari face shield, kalau pakai masker tidak ketahuan orang bicara atau tidak, senyum atau tidak. Ini mengenai interaksi,” kata Irfan.
Pihak Garuda Indonesia juga akan melakukan perubahan terhadap kursi penumpang dan diberi jarak. “Kita sepakat dengan jarak, kursi tengah akan kita kosongkan. Kalau masyarakat tidak aman akan jarak tapi dengan naik Garuda semua rasa kelas bisnis,” ujarnya.
Sumber Kontan, edit koranbumn