PT Bank Rakyat Indonesia (BRI) memastikan sampai saat ini kondisi likuiditas dan permodalan perusahaan masih solid, serta cukup untuk menunjang kebutuhan ekspansi.
Direktur Utama Bank BRI Sunarso pun menegaskan pihaknya kemungkinan besar tidak akan memanfaatkan fasilitas penyangga likuiditas yang difasilitasi oleh bank peserta.
Hal ini merupakan tindak lanjut dari penempatan dana pemerintah yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020 yang kemudian ditindaklanjuti dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 64/PMK.05/2020 dan Surat Keputusan Bersama SKB-1/D.01/2020.
Bukan tanpa alasan, menurut Sunarso dalam kebijakan tersebut, bantuan likuiditas tersebut bersifat last resort. Artinya, bank peminjam atau disebut bank pelaksana hanya diperbolehkan mendapat likuiditas apabila seluruh cadangan likuiditas alias secondary reserve telah terkuras habis untuk memenuhi kebutuhan restrukturisasi kredit terkait Covid-19.
Sebabnya, menurut Sunarso Bank BRI sebagai salah satu bank sistemik, akan sangat membahayakan perekonomian apabila likuiditasnya mengetat. “Dengan aset Rp 1.400 triliun, apakah saya akan tega membiarkan bank sistemik ini menyisakan secondary reserve di bawah 6%? Pasti tidak,” katanya dalam Webinar bersama HIPMI, Selasa (16/6).
Asal tahu saja, aturan untuk menjadi bank pelaksana memang sangat ketat. Salah satunya, bank yang diperkenankan meminjam likuiditas hanya bank yang Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM) sudah di bawah 6%.
Sunarso pun memastikan, kapasitas likuiditas BRI saat ini tetap cukup untuk memenuhi seluruh kebutuhan restrukturisasi kredit, tanpa harus mendapat pinjaman likuiditas dari Bank Peserta.
Lagi pula, Bank BRI juga masih memiliki opsi pendanaan berupa pinjaman melalui bank asing senilai US$ 1 miliar yang bisa ditarik kapan saja. “Kami punya utang luar negeri dari 13 bank senilai US$ 1 miliar, dan kapan saja bisa ditarik dengan suku bunga dolar 1,9%,” tegasnya.
Sumber Kontan, edit koranbumn