PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) tercatat mempunyai utang yang hampir menyentuh Rp 500 triliun. Untuk bisa menyeimbangkan neraca perusahaan PLN sedang melakukan pengurangan pembangunan infrastruktur kelistrikan.
Direktur Utama PLN, Zulkifli Zaini menjelaskan saat ini utang PLN sudah membengkak, hal ini disebabkan oleh investasi besar besaran yang dilakukan PLN selama lima tahun kebelakang. Rencananya pada tahun depan PLN akan mulai memangkas alokasi investasi ini.
PLN sebelumnya memproyeksi investasi setiap tahun akan menyentuh Rp 100 triliun. Namun dengan kondisi saat ini serta posisi utang PLN yang terus membengkak maka manajemen memutuskan untuk efisiensi. Ini juga yang sudah diamanatkan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
“Jadi intinya kami akan investasi sangat selektif sesuai prioritas. Karena selama lima tahun ini, kami sudah banyak berinvestasi, baik PLN maupun IPP (independent power producer/produsen listrik swasta). Pokoknya kami untuk 4-5 tahun ke depan berusaha sangat fokus memprioritaskan investasi kami dengan selektif,” kata Zulkifli di Kementerian ESDM, Kamis (2/7).
Ia menjelaskan pada tahun ini saja perusahaan sudah memangkas rencana investasi yang semula Rp 100 triliun menjadi Rp 53,89 triliun. Selain capex, biaya operasi juga akan diefisiensikan.
Namun untuk menjamin keandalan pasokan, maka investasi ke depan akan menyasar pada infrastruktur yang bisa meningkatkan keandalan pasokan tersebut. “Efisiensi, baik dari sisi capex maupun opex. Kami akan lakukan penghematan-penghematan, karena utang telah besar,” ungkap dia.
Namun Zulkifli menegaskan, kondisi keuangan PLN masih dalam kondisi baik dan masih dapat memenuhi kewajiban pembayaran. “PLN masih mampu membayar (utang), keadaan keuangan baik. Manajemen menjaga sustainabilitas PLN,” tegas Zulkilfi.
Guna memenuhi kebutuhan investasi di proyek 35 ribu megawatt (MW) PLN menggandeng produsen listrik swasta atau independent power producer (IPP) dan mengambil pinjaman. Investasi yang harus ditanggung PLN sendiri mencapai Rp 100 triliun dan seluruhnya ditutup dengan utang sehingga menumpuk menjadi hampir Rp 500 triliun.