Salah satu pengusaha nasional Sutrisno Bachir menilai kondisi perbankan di Indonesia sedang tidak aman. Pasalnya, banyak perusahaan besar yang saat ini masuk sebagai kredit macet, tetapi tidak terlihat karena program restrukturisasi.
Sebagai informasi, selain sebagai pengusaha, Sutrisno pernah menjabat sebagai Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) pada periode 2005-2010 dan Ketua MPP PAN pada 2015. Pada 2016 hingga 2019, dia menduduki posisi sebagai Ketua Komite Ekonomi Industri Nasional (KEIN).
Menurutnya, kebijakan restrukturisasi saat ini selayaknya rekayasa untuk memperlihatkan bahwa kondisi bank dalam keadaan sehat. Dia menyebutkan beberapa pelaku usaha yang besar, seperti penguasaha mall dan properti dalam keadaan bangkrut, tetapi kredit macet tidak melonjak karena restrukturisasi.
Ditambah, pada kondisi pandemi sekarang ini sektor UMKM juga terpukul, sedangkan saat krisis 1998 pelaku usaha kecil tidak terimbas. Kondisi bank yang saat ini masih menunjukkan sejumlah indikator aman pun dinilai hanya di atas kertas dan tidak sesuai dengan fakta lapangan.
“Kalau dikatakan bank itu aman, itu mungkin di atas kartas karena perusahaan besar kena kredit macet [dapat] direstrukturisasi. Itu rekayasa agar kelihatan bank sehat,” katanya, Senin (6/7/2020) malam.
Menurutnya, untuk menghadapi permasalahan ini, perlu suatu terobosan baru karena dalam keadaan macet, industri akan sulit berhubungan dengan bank dalam meminta penagajuan kredit. Kehadiran lembaga lain yang menyediakan dana abadi untuk mengalirkannya ke sektor produktif akan mampu menghidupkan ekonomi daerah.
Sutrisno menilai lembaga yang menjalankan fungsi tersebut dapat berupa PT Permodalan Nasional Madani (Persero) maupun PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero) yang menyalurkan dana pemulihan ekonomi nasional. Kedua lembaga tersebut nantinya dijamin lembaga Pnjamin Simpanan (LPS) untuk menjamin keamanannya.
Apabila pemulihan masih melalui perbankan, lanjutnya, tidak akan bisa berjalan. Pasalnya, bank hanya mau menangani satu nasabah dengan dana besar ketimbang banyak nasabah dengan dana kecil.
Selanjutnya, pemulihan ekonomi pun harus mengutamakan UMKM, atau dari sisi korporasi harus merupakan BUMN. Sebaliknya, korporasi swasta dinilai sudah mampu mengatasi permasalahan ekonomi jika terjadi kebangkrutan. Kebijakan yang salah dalam menggelontorkan dana akan menimbulkan moral hazard.
“Ini harus ada terobosan, harus ada pemikiran out of the box, pengusaha besar atau kecil. Saya usulkan pemerintah harus lewat lembaga baru semacam soverign wealth fund di dalam negeri yang tidak mengikuti aturan perbankan,” katanya.
Sementara itu, hingga Mei 2020 permodalan bank atau capital adequacy ratio (CAR) berada di angka 22,16 persen dengan rasio kredit bermasalah sebesar 3,01 persen, naik dibandingkan dengan bulan sebelumnya sebesar 2,89 persen.
Penyaluran kredit mengalami perlambatan dari 5,73 persen pada April 2020 menjadi 3,04 persen pada Mei 2020, sedangkan pertumbuhan dana pihak ketiga tercatat 8,87 persen atau lebih tinggi dibandingkan dengan bulan sebelumnya, yaitu sebesar 8,08 persen.
Sumber Bisnis, edit koranbumn