Pertumbuhan kinerja PT Bank Mandiri (BMRI) samar terjadi di tengah pandemi Covid-19. Permintaan kredit yang menurun serta jumlah restrukturisasi yang meningkat jadi pemberat pertumbuhan kinerja.
Lee Young Jun Analis Mireae Asset Sekuritas Indonesia mengatakan pelemahan ekonomi akibat pandemi membuat sektor perbankan jadi lebih berisiko jika dibandingkan dengan sektor lain. “Kami tidak melihat adanya pertumbuhan kinerja perbankan di tahun ini,” kata Young Jun, Kamis (6/8).
Faktor pemberat kinerja perbankan adalah rendahnya perolehan margin bunga bersih alias net interest margin (NIM). Selain itu, tingginya biaya kredit serta pertumbuhan pinjaman yang cenderung stagnan juga memberatkan kinerja perbankan.
Di kuartal II-2020, Young Jun memproyeksikan net interest income BMRI menurun 7% secara tahunan karena perlambatan pertumbuhan pinjaman dan rendahnya perolehan NIM. Selama PSBB, BMRI juga tidak bisa agresif menyaluran pinjaman baru.
Young Jun juga memproyeksikan biaya pencadangan (provisi) BMRI akan meningkat karena pinjaman dengan perhatian khusus atawa special mention loans (SML) bisa berubah menjadi kredit bermasalah atau non performing loan (NPL). “Kami perkirakan biaya provisi melonjak 100%,” kata Young Jun.
Usaha BMRI meningkatkan kinerja semakin berat, karena masih terus melakukan restrukturisasi kredit terhadap debitur Bank Mandiri yang terdampak pandemi. Hingga 7 Juni 2020, Bank Mandiri telah menyetujui restrukturisasi kredit 404.000 debitur dengan jumlah kredit sebesar Rp 99 triliun.
Young Jun mengatakan restrukturisasi tersebut akan menurunkan pendapatan bunga. Namun, untuk NPL dan capital adequacy ratio (CAR) atawa rasio kecukupan modal, menurut Young Jun BNRI masih menjaga rasio tersebut karena tidak semua restrukturisasi kredit diperlakukan sama sebagai pinjaman biasa.
Alhasil, Young Jun memproyeksikan pendapatan BMRI menurun 57,6% secara tahunan untuk kuartal II 2020. “Tahun ini menjadi tahun tersulit bagi BMRI,” kata Young Jun.
Rahmi Marina Analis Maybank Kim Eng Sekuritas menambahkan salah satu strategi Bank Mandiri untuk mencegah pembentukan NPL baru adalah dengan restrukturisasi pinjaman. “Ini dapat merestrukturisasi hingga 28% dari seluruh pinjaman,” kata Rahmi dalam riset.
Young Jun memproyeksikan pertumbuhan kredit BMRI akan melambat hanya tumbuh satu digit di kuartal II-2020. Sementara Rahmi memproyeksikan pertumbuhan pinjaman memang akan lebih rendah 5% secara tahunan.
Sementara, Young Jun juga menilai stimulus yang pemerintah berikan untuk sektor perbankan hanya akan berdampak secara terbatas. Belakangan, bank berlogo pita emas ini telah menyalurkan kredit Rp 12,05 triliun berbekal penempatan dana pemerintah Rp 10 triliun. Young Jun mengatakan stimulus pemerintah tersebut baru terasa pada laporan keuangan kuartal III-2020.
Meski begitu, Young Jun memproyeksikan NIM BMRI akan kembali stabil di semester II-2020. Menurut Young Jun BMRI akan menurunkan suku bunga deposito untuk mempertahankan NIM yang turun di kuartal II-2020. Namun, BMRI tidak mengubah bunga pinjaman baru. “Kami yakin NIM akan berada di sekitar 4% dan tidak separah perkiraan awal kami dan bank bisa menggunakan keuntungannya untuk biaya pendanaan,” kata Young Jun.
Dengan NIM yang berpotensi membaik, Young Jun mengubah perkiraan pendapatan BMRI di sepanjang tahun ini dari Rp 17 triliun menjadi Rp 17,4 triliun.
Sementara, Rahmi memperkirakan NIM BMRI menurun ke 4,8% dari 5,4% di tahun lalu. Meski begitu Rahmi tetap merekomendasikan beli saham BMRI dengan target harga Rp 5.600 per saham. Menurut Rahmi, tingginya biaya pencadangan akan membangun bantalan yang kuat untuk mencegah NPL naik selama masa restrukturisasi.
Sedangkan, Young Jun merekomendasikan hold saham BMRI di target harga Rp 5.280 per saham.
Sumber Kontan, edit koranbumn