PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. mencatatkan rasio kredit bermasalah yang terus meningkat sepanjang empat tahun terakhir. Rasio kredit bermasalah paling tinggi terjadi pada semester I/2020 dengan besaran mencapai 3,13 persen.
Berdasarkan laporan publikasi perseroan, rasio kredit bermasalah atau non-performing loan (NPL) BRI pada semester I/2019 tercatat sebesar 2,52 persen.
Sebelumnya, pada semester I/2018 dan semester I/2017, rasio NPL BRI masing-masing adalah sebesar 2,41 persen dan 2,34 persen. Artinya, sepanjang 4 tahun terakhir, NPL BRI terus mengalami kenaikan.
Secara tahunan, rasio NPL perseroan pada 2017 adalah 2,24 persen, 2018 sebesar 2,28 persen, dan 2019 sebesar 2,80 persen.
Corporate Secretary BRI Aestika Oryza Gunarto mengatakan perseroan telah membentuk cadangan kredit yang sangat memadai dengan rasio NPL coverage mencapai 200 persen.
BRI juga optimistis dapat menghadapi kenaikan NPL tersebut dengan menjaga likuiditas tetap terjaga, seperti terlihat dari loan to deposit ratio (LDR) pada level 85 persen, rasio intermediasi makroprudensial (RIM) sebesar 82 persen, liquidity coverage ratio (LCR) 243 persen, dan net stable funding ratio (NSFR) 138 persen.
“BRI optimistis mampu menjaga NPL di kisaran 3 persen hingga akhir tahun 2020,” katanya
Menurutnya, BRI memiliki dua strategi untuk menjaga NPL, pertama menjaga kredit existing portofolio dan menjaga portofolio kredit baru. Pada portofolio eksisting, BRI akan melakukan monitoring dengan ketat. Selain itu juga akan dilakukan upaya preventif terhadap debitur-debitur yang terdampak Covid-19.
“Manakala ada debitur yang kesulitan kembali akan kami restrukturisasi kembali setelah kami review,” katanya.
Sementara itu, untuk debitur baru, BRI akan sangat selektif dan berhati-hati dalam menyalurkan kredit. Sektor usaha dan wilayah menjadi pertimbangan bagi BRI dalam menyalurkan kredit baru.
“Kami utamakan debitur UMKM khususnya di sektor mikro, karena pertumbuhannya lebih tinggi daripada sektor lainnya di BRI,” sebutnya.
Sumber Bisnis, edit koranbumn