Menyongsong “Indonesia Emas” tahun 2045 sederet masalah pertanian telah menjadi tantangan bersama yang harus segera dipikirkan solusinya, khususnya peningkatan kebutuhan pangan. Namun di sisi lain lahan pertanian terus menyusut, dan anak muda juga tidak tertarik lagi terjun di sektor ini.
Hal itu disampaikan oleh Direktur Utama Petrokimia Gresik, perusahaan Solusi Agroindustri anggota holding Pupuk Indonesia, Dwi Satriyo Annurogo saat menjadi salah satu pembicara dalam acara webinar bertajuk “KADIN (Kamar Dagang & Indonesia) Jatim Talk” pada Jumat (18/9).
Dwi Satriyo menjelaskan bahwa pada tahun 2045, kebutuhan pangan di tanah air mencapai 35,3 juta ton, atau meningkat 5,44 juta ton (18,2 persen) dibandingkan tahun 2019 sebesar 29,86 juta ton. Ini terjadi karena akan muncul ledakan penduduk dari 269 juta jiwa tahun 2019 menjadi 318 juta jiwa berdasarkan proyeksi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Badan Pusat Statistik (BPS).
“Artinya, jika produktivitas pertanian saat ini rerata 5,1 ton setiap hektare (ha) maka dibutuhkan tambahan lahan sekitar 1 juta hektare guna memastikan kebutuhan pangan di era “Indonesia Emas” nanti aman. Faktanya, terjadi tren penurunan luas lahan baku di Indonesia karena alih fungsi,” tandas Dwi Satriyo.
Tahun 2016 lahan baku sawah tidak kurang dari 8,19 juta ha, namun di tahun 2017 turun menjadi 7,75 juta ha, dan pada tahun 2018 berkurang cukup drastis menjadi 7,1 juta ha. Baru terlihat penambahan luas lahan baku sawah di tahun 2019 menjadi 7,4 juta ha.
Besarnya alih fungsi lahan sejak tahun 2016 tidak lepas dari kondisi perekonomian petani di tanah air. Dimana BPS menyebutkan di tahun 2014, rumah tangga miskin berdasarkan sumber penghasilan utama rumah tangga di Indonesia, sebanyak 53,58 persen berasal dari sektor pertanian.
“Kita harus peduli terhadap kondisi ini. Kita menyebut petani sebagai pahlawan pangan, tetapi jika melihat upah harian buruh tani nasional hanya bisa untuk sekadar hidup,” tandas Dwi Satriyo.
Di sisi lain, bantuan permodalan untuk petani bangkit masih terbilang minim. Hal ini dapat dilihat dari bantuan permodalan yang diberikan perbankan. Berdasarkan data dari Bank Indonesia (BI), bantuan permodalan untuk Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) di sektor pertanian hanya Rp 7,69 triliun (12%), terpaut jauh jika dibandingkan dengan sektor non-pertanian yang mencapai Rp 55,39 triliun.
“Pertanian yang menjadi landasan ketahanan negara hanya mendapatkan porsi yang kecil,” ujarnya seraya menyebutkan minimnya permodalan di sektor pertanian ini dapat mempengaruhi petani dalam usaha sehingga mengancam ketahanan pangan.
Masalah perekonomian inilah yang menurutnya menjadi salah satu penyebab berkurangnya lahan pertanian di Indonesia. Semakin fatal, kondisi ini juga yang menyebabkan sulitnya regenerasi petani, karena anak petani lebih memilih bekerja di sektor lain.
Jika melihat demografi petani saat ini, petani dengan usia 55 tahun atau lebih jumlahnya terbilang besar, berkisar 35,9 persen, sedangkan petani muda atau berusia 34 tahun ke bawah hanya 11 persen. Petani di tanah air saat ini didominasi antara usia 35 sampai 54 tahun sebanyak 52,4 persen.
Dwi Satriyo menegaskan untuk mengatasi deretan masalah tersebut dibutuhkan upaya dari semua pihak untuk meningkatkan kesejahteraan petani dengan mendongkrak produktivitas pertanian. Untuk itu, Petrokimia Gresik siap mendukung pemerintah dalam upaya peningkatan produktivitas pertanian dan kesejahteraan petani dengan menyediakan pupuk berkualitas.
Pupuk berkualitas, lanjutnya, menjadi sangat penting dalam upaya meningkatkan produktivitas pertanian, dimana 77 persen kenaikan produksi pertanian saat ini diperoleh dari kegiatan intensifikasi dengan aplikasi pupuk berkualitas. Ini juga menjadi solusi bagi sulitnya penambahan lahan baku pertanian.
“Masih ada peluang yang bisa kita kejar melalui pengaplikasian pupuk berkualitas guna meningkatkan rerata produktivitas pertanian,” terangnya.
Di sisi lain, Petrokimia Gresik juga berkomitmen mendukung pertanian berkelanjutan dengan menyediakan pupuk organik, baik Petroganik maupun Phonska Oca. Dengan pertanian berkelanjutan, produktivitas pertanian dapat dijaga hingga jangka panjang.
Senada, Wakil Ketua Umum Bidang Pertanian dan Pangan KADIN Jatim, Edi Purwanto menyatakan bahwa masalah kesejahteraan petani inilah yang selalu muncul di tengah sektor pertanian.
“Selama ini kita selalu berbicara ketahanan pangan, tapi kesejahteraan petani kadang dilupakan. Untuk itu kita harus meningkatkan kolaborasi guna meningkatkan kesejahteraan mereka,” ujarnya.
Menurutnya, banyak stakeholder di dunia pertanian memiliki program masing-masing, tapi terkadang untuk mengoptimalkan program itu mereka kurang berkolaborasi. Kolaborasi menjadi salah satu kunci bagi peningkatan kesejahteraan petani.
Sumber Petrokimia, edit koranbumn