Direktur Utama PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. (BBRI) Sunarso menyatakan perseroan siap menghadapi berakhirnya masa restrukturisasi kredit terdampak Covid-19 yang jatuh pada Maret 2023.
Sunarso menjelaskan keyakinan itu tidak terlepas dari rasio loan at risk (LAR) atau kredit berisiko perseroan yang jauh berada di bawah pencadangan. BRI dalam hal ini terus meningkatkan pencadangan guna meredam potensi LAR menjadi risiko kredit bermasalah (non-performing loan/NPL).
Sampai dengan semester I/2022, LAR perseroan bercokol di level 20,8 persen atau turun dari posisi tahun lalu yang mencapai 24,1 persen. Adapun, LAR Coverage meningkat sebesar 680 basis poin menjadi 42,4 persen pada tahun ini.
“Angkanya ternyata dari LAR, yang jatuh tidak bisa diselamatkan hanya 8 persen, sedangkan BRI sudah mencadangkan 42 persen. Artinya, kalau yang tidak bisa diselamatkan mencapai 40 persen, ya masih aman karena masih terlindungi oleh pencadangan terhadap LAR,” ujar Sunarso dalam paparan kinerja kuartal II/2022 BRI, Rabu (27/7/2022).
Oleh sebab itu, Sunarso menyampaikan apabila Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tidak melanjutkan masa restrukturisasi kredit terdampak Covid-19, emiten bank berkode saham BBRI tersebut sudah siap menghadapi potensi meningkatnya risiko kredit.
“Pertanyaannya, sekarang sudah siap atau belum dari sisi pencadangan dan pengelolaan portofolio yang masuk LAR itu? Kami nyatakan siap karena cadangannya lebih dari cukup dan kemudian manajemen risikonya kami jalankan dengan baik,” pungkasnya.
Sementara itu, NPL BRI secara konsolidasi masih terkendali di level 3,26 persen hingga akhir Juni 2022. Meski demikian, perseroan telah menyiapkan pencadangan sebagai langkah antisipatif potensi pemburukan kredit. NPL Coverage BRI tercatat mencapai 266,26 persen pada kuartal II/2022, naik dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar 252,59 persen.
Sunarso juga menyebutkan upaya BRI dalam menjaga NPL dilakukan dengan selective growth. Strategi ini berfokus pada sektor-sektor yang memiliki potensi kuat serta eksposur minimum terhadap gejolak ekonomi, seperti pertanian, industri bahan kimia, serta makanan dan minuman.
“Upaya lain yang dilakukan BRI untuk menjaga NPL yakni selektif dalam menentukan kelayakan nasabah restrukturisasi dengan mempertimbangkan kondisi dan potensi bisnis nasabah, serta menerapkan soft landing strategy dengan menyiapkan pencadangan yang cukup untuk mengantisipasi terjadinya pemburukan kualitas kredit nasabah restrukturisasi,” tuturnya.
Sepanjang 2022, BBRI menargetkan pertumbuhan kredit di kisaran 9 – 11 persen. Target tersebut diyakini dapat tercapai berkat peningkatan laju pembiayaan di segmen mikro dan ultra mikro, serta hadirnya PT Pegadaian dan Permodalan Nasional Madani (PNM) dalam holding.
Secara terpisah, Analis Mirae Asset Sekuritas Handiman Soetoyo dalam risetnya mengatakan bahwa sinergi dengan PNM dan Pegadaian akan meningkatkan pendapatan BBRI pada tahun ini. Selain itu, perluasan pembiayaan mikro turut menjadi kunci profitabilitas perseroan.
“Pinjaman mikro adalah faktor kunci untuk pertumbuhan pendapatan bunga yang kuat. Sementara itu, segmen ultra mikro melalui anak perusahaan [PNM dan Pegadaian] juga akan mendorong pertumbuhan kredit, pendapatan bunga, dan margin bunga bersih,” ujarnya.
Dia juga menyatakan bahwa BBRI akan menjadi salah satu bank yang paling sedikit terkena dampak dari potensi kenaikan suku bunga karena fokusnya pada segmen mikro.
Sumber Bisnis, edit koranbumn