Kementerian Keuangan mencatat, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sampai akhir Juli mengalami defisit Rp 330 triliun atau sekitar 2,01 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Nilai tersebut masih di bawah target yang ditetapkan pemerintah, yakni 6,34 persen dari PDB.
Menteri Keuangan Sri Mulyan menjelaskan, kenaikan defisit pada Juli ini mencapai 79,5 persen dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu, Rp 183 triliun. “Ini menggambarkan, penerimaan mengalami tekanan dan belanja naik akibat Covid-19,” tuturnya dalam paparan kinerja APBN secara virtual pada Selasa (25/8).
Dampaknya, Sri mengatakan, pembiayaan pun mengalami kenaikan signifikan sampai 115 persen dibandingkan tahun lalu. Sampai akhir Juli, realisasi pembiayaan anggaran adalah Rp 503 triliun. Sedangkan, pada tahun lalu berada pada kisaran Rp 233 triliun.
Sampai akhir Juli, pendapatan negara sudah terkumpul Rp 922 triliun atau 54,3 persen dari landasan APBN 2020. Realisasi tersebut tumbuh negatif 12,4 persen dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu.
Apabila dirinci, Sri menjelaskan, penerimaan pajak mengalami kontraksi paling dalam. Sampai 31 Juli, Direktorat Jenderal Pajak hanya mengumpulkan Rp 601,9 triliun atau kontraksi 14,7 persen dibandingkan tahun lalu yang mampu mencapai Rp 705 triliun.
Sri menuturkan, kontraksi tersebut lebih dalam dibandingkan yang diperkirakan pemerintah. “Ini sesuatu yang harus diperhatikan dari sisi faktor-faktor penerimaan pajak,” ujar mantan direktur pelaksana Bank Dunia itu.
Di sisi lain, pendapatan dari bea dan cukai tumbuh positif 3,7 persen. Hanya saja, pertumbuhannya memang melambat dari pertumbuhan tahun lalu yang menyentuh positif 13,2 persen.
Sementara itu, belanja negara mengalami pertumbuhan tipis 1,3 persen menjadi Rp 1.252 triliun. Pertumbuhan terutama terjadi pada belanja non kementerian/lembaga yang mencapai Rp 374 triliun atau tumbuh positif 9,5 persen. Kenaikan ini bahkan melampaui realisasi tahun lalu yang tumbuh 6,3 persen.
Sri menuturkan, tren tersebut dikarenakan banyaknya program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang dimasukkan ke pos belanja non kementerian/ lembaga. “Ini yang menyebabkan pos ini mengalami kenaikan luar biasa dibandingkan tahun lalu,” katanya.
Belanja untuk dana desa mengalami tren serupa. Sampai akhir Juli, pertumbuhannya mencapai 50,7 persen menjadi Rp 47,9 triliun. Menurut Sri, kenaikan tersebut menjadi tren positif karena sebagian belanja dialokasikan untuk Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat di pedesaan.
Sumber Republika, edit koranbumn