Terkait dengan aturan turunan UU Cipta Kerja di sekor tata ruang dan pertanahan, pemerintah telah berkomitmen memberikan kemudahan serta kepastian kepada masyarakat dan pelaku usaha untuk mendapat hak atas tanah mereka.
“Tanpa tata ruang yang mudah diakses, maka masyarakat akan kesulitan untuk memulai kegiatan usaha, misalkan dalam proses bisnis UMKM yang selama ini mengharuskan adanya izin lokasi,” ujar Staf Ahli Bidang Regulasi, Penegakan Hukum, dan Ketahanan Ekonomi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Elen Setiadi, Kamis (26/11/2020).
Selain itu, lanjut Elen, tata ruang ini diperlukan untuk bisa mengakomodir program pemerintah seperti Proyek Strategis Nasional.
“Ada sebagian wilayah yang masuk kawasan hutan misalnya, ini kan harus ada jembatan antara UU Pertanahan dengan UU yang mengatur kawasan hutan. UU Cipta Kerja beserta aturan pelaksanaannya yang akan bridging,” sambung Elen.
Senada, Deputi Bidang Koordinasi Pengembangan Wilayah dan Tata Ruang, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Wahyu Utomo mengungkapkan mengenai pentingnya penataan ruang agar bisa semaksimal mungkin mendukung kegiatan ekonomi.
“Semua kegiatan ekonomi itu membutuhkan ruang, misalnya dalam pembangunan infrastruktur. Masalahnya ruang itu terbatas. Untuk itu, perlu diatur penataannya dengan memperhatikan daya dukung alam, lingkungan, dan lain-lain,” kata Wahyu Utomo.
Wahyu pun merinci beberapa muatan materi utama yang diatur terkait penataan ruang ini. Pertama, integrasi tata ruang, baik di udara, darat, laut, maupun ruang dalam bumi. Kedua, penyederhanaan produk rencana tata ruang.
Ketiga, kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang dalam perizinan berusaha. Dokumen tata ruang akan disinkronkan dengan sistem Online Single Submission (OSS).
“Sehingga saat mau mengurus izin, tidak perlu datang ke banyak instansi. Selain menyederhanakan proses, waktu juga dipersingkat. Misalnya untuk RDTR yang biasanya butuh 36 bulan sejak penyusunan hingga penetapan, kita harapkan bisa selesai dalam 12 bulan,” tutur Wahyu.
Keempat, penyediaan peta dasar. Pemerintah tengah menyusun Kebijakan Satu Peta (One Map Policy) yang dirancang untuk menjadi 1 rujukan bagi semua spatial planning di pusat maupun daerah. “Ini coba menyinkronkan dan menyelesaikan persoalan tumpang tindih lahan,” imbuh Wahyu.
Kelima adalah mengenai digitalisasi dalam tata ruang. “Di Kementerian ATR/BPN itu sudah ada yang namanya Gistaru [Sistem Informasi Geospasial Tata Ruang],” jelasnya.
Sementara mengenai pengadaan tanah, Wahyu menerangkan bahwa pemerintah mengevaluasi agar prosesnya dipercepat. Pasalnya, pengadaan tanah juga merupakan kunci untuk melancarkan proses pembangunan infrastruktur.
“Hal utama yang dibahas adalah bagaimana agar Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional [ATR/BPN] bisa terlibat sejak awal perencanaan. Jadi semisal ada yang mau membangun, dari database ATR/BPN bisa dilihat jalan dari sini ke sana lah yang paling efisien karena tidak ada masyarakat yang terdampak,” papar Wahyu.
Dia pun menggarisbawahi bahwa konsep ini tidak akan memperpanjang proses, tapi justru mempermudah dan mempercepat eksekusi.
“Kalau penyiapannya sudah terintegrasi antara instansi yang membutuhkan tanah dengan ATR/BPN yang mengetahui database tanah-tanah di Indonesia, maka perencanannya pun akan lebih mudah. Proses sosialisasi, ganti rugi, dan lain-lain juga akan lebih cepat,” ungkapnya.
Sebagai informasi, ada beberapa aturan pelaksanaan UU Cipta Kerja terkait sektor Penataan Ruang, Pertanahan, dan PSN ini antara lain: RPP Kemudahan PSN, RPP Penyelesaian Ketidaksesuaian antara Tata Ruang dengan Kawasan Hutan, Izin dan/atau Hak Atas Tanah, RPP Pelaksanaan UU Cipta Kerja untuk Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), RPP Pelaksanaan UU Cipta Kerja Sektor Transportasi, dan RPP Pelaksanaan UU Cipta Kerja Sektor Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
Sumber Bisnis, edit koranbumn