Untuk menjaga kinerja perbankan di Indonesia tetap likuid, maka Bank Indonesia telah menyiapkan dana stimulus sebesar Rp 700 triliun. Stimulus ini akan diberikan melalui transaksi repurchase agreement SBN (Repo SBN). Menurut Gubernur BI, Perry Warjiyo stimulus ini akan sangat cukup bagi perbankan untuk menjaga likuiditasnya, terutama dalam merestrukturisasi penundaan pokok kredit untuk UMKM hingga 6 bulan ke depan.
Untuk kebijakan penurunan suku bunga kredit bagi UMKM, Perry menjelaskan bahwa itu merupakan kewenangan OJK. Saat ini OJK dan pemerintah sedang menyusun program pemulihan ekonomi termasuk teknis restrukturisasi kredit kepada UMKM. “Nanti tentu saja pemerintah akan mengumumkannya bagaimana pola program pemulihan pemerintah untuk UMKM yang di dalamnya ada penundaan pokok, asumsi bunga dan penambahan plafon, itu tentu saja akan diumumkan oleh pemerintah bersama OJK, ” ucap Perry.
BI sendiri sudah mendanai program likuiditas di perbankan, itu akan cukup untuk mendanai UMKM. Tetapi tentu saja dalam perkembangannya akan mengukur lagi apakah perlu menambah likuiditas lagi dengan mekanisme moneter.
Sementara itu untuk kredit korporasi dan BUMN, menurut Perry ini perlu dihitung kembali, jumlahnya berapa. Apakah polanya akan dilakukan dengan penundaan pokok enam bulan seperti halnya kredit UMKM. “Jadi perlu dihitung kembali. Tapi prinsipnya bank perlu segera untuk menjaga likuiditasnya dulu dari Repo SBN yang mereka miliki, kalau ini kurang baru kemudian pemerintah akan menerbitkan SBN tambahan.”lanjutnya.
Dalam kesempatan press conference virtual (6/5/2020), BI juga memaparkan kondisi ekonomi makro selama Triwulan I 2020. Menurut Perry semula BI memperkirakan di bulan Maret 2020 belum ada dampak dari wabah Covid-19 ke aktivitas ekonomi, sehingga diprediksi konsumsi masyarakat masih tumbuh 4,4%,. Namun, ternyata data BPS menunjukkan, sudah ada dampak di Maret 2020, sehingga pertumbuhannya hanya 2,8% dibanding Triwulan I tahun 2019. Demikian juga dengan investasi, total investasi yang kami perikirakan 2,4%, ternyata data BPS menunjukkan hanya tumbuh 1,7% pada triwulan I 2020 ini.
“Artinya apa, bahwa memang penerapan menjaga jarak sosial, bekerja dari rumah, sekolah dari rumah, itu semua berdampak terhadap pendapatan masyarakat. Dan juga berpengaruh pada aktivitas produksi dari dunia usaha,” jelasnya.
Di lain sisi, ekspor ternyata menunjukkan pertumbuhannya lebih tinggi dari perkiraan BI. Pada Triwulan I 2020 ini pertumbuhan ekspor capai 0,24% (data BPS), lebih tingga dari perkiraan BI yang hanya -1,6%. “Jadi ada bagian positifnya, ekspor di Triwulan I ternyata dampaknya tidak sedalam yang kami perkirakan. Ternyata bisa tumbuh 0,24%” ujar Perry.
Untuk pertumbuhan makro, masih jauh dari target 4,4%.
Dari semua upaya yang sudah dikerahkan pemerintah, pertumbuhan ekonomi Triwulan I ini hanya mencapai 2,97%. Meski demikian menurut Perry angka 2,97% ini termasuk pertumbuhan positif yang cukup baik jika bandingkan dengan sebagian negara-negara lainnya pada Triwulan I 2020 ini. Pertumbuhan di beberapa negara besar menurun hingga negatif, misalnya Tiongkok -6,8% (negatif), Eropa -3,3%, AS 1,6%, Singapura -2,2%, Korea Selatan 1,3%. Pada triwulan II 2020 nanti BI memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia capai 0,4%. Angka ini ditetapkan dengan mengacu pada segala upaya yang dilakukan pemerintah saat ini, kemudian mempertimbangkan juga puncaknya PSBB ini akan sampai pertengahan Juni, wilayah terdampak sekitar 70% dari wilayah ekonomi Indonesia, dan mempertimbangkan juga pertumbuhan ekonomi global yang minus 2%. Kemudian di triwulan II diprediksi ekonomi akan tumbuh 1,2% dan melejit di Triwulan IV jadi 3,4%.
Sumber Republika, Swa Edit koranbumn