Banyaknya muncul aduan terkait produk unit link dan kasus gagal bayar membuat pelaku industri asuransi menyerukan agar terciptanya tata kelola industri asuransi yang lebih sehat di dalam negeri.
Pengawas dan Pembina Dewan Asuransi Indonesia (DAI) Kornelius Simanjuntak mengatakan salah satunya yang perlu didorong adalah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan pemerintah segera membentuk Lembaga Penjamin Pemegang Polis (LPPP). Langkah ini dianggap sebagai upaya mendorong minat masyarakat untuk menggunakan jasa asuransi. “LPPP juga dapat mengembalikan citra perusahaan asuransi, mengingat akhir-akhir ini makin banyak permasalahan yang terjadi di sejumlah perusahaan,“ ujar Kornelius dalam Webinar Katadata Forum Virtual Series, dengan tema ‘Pembenahan Tata Kelola Industri Asuransi’,
Menurutnya, jika mengacu pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, lembaga tersebut sudah harus dibangun. Sebab, UU mengamanatkan lembaga tersebut harus sudah ada paling lambat tiga tahun setelah undang-undang perasuransian terbit.
Kepala Bagian Pengawasan Asuransi Umum dan Reasuransi OJK Muhammad Ridwan pun mengamini pentingnya keberadaan lembaga tersebut. Namun demikian, kata dia, lembaga tersebut sedang dalam proses penggodokan.
Bahkan, pihaknya telah mengajak Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan untuk merumuskan desain lembaga ini. Ia berharap, adanya lembaga ini akan meningkatkan kepercayaan masyarakat agar mau membeli produk-produk asuransi.
“Kami sedang mendesain bagaimana nanti bentuk lembaganya, apakah kemudian dia nanti akan melekat di Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) atau kemudian menjadi lembaga yang mirip dengan LPS,” ucapnya.
Sementara itu, Kepala Departemen Pengawasan IKNB 2A OJK, Ahmad Nasrullah menuturkan, salah satu aspek yang harus ditekankan dalam industri asuransi ke depan adalah perihal penerapan tata kelola perusahaan, manajemen risiko korporasi, dan kepatuhan terhadap peraturan yang ada.
Menurut dia, permasalahan-permasalahan yang sering terjadi terutama di beberapa perusahaan asuransi besar adalah terkait dengan tata kelola yang kurang baik.
Sedangkan, menurut Wakil Ketua BPKN RI, M Mufti Mubarok, pembenahan industri asuransi memang perlu dilakukan karena jumlah pengaduan konsumen asuransi yang diterima pihaknya cukup banyak.
Menurut dia, pada 2021 BPKN telah menerima sebanyak 2.152 pengaduan. Mufti menyebut, empat persoalan yang menjadi catatan BPKN selama 2021 meliputi penolakan klaim, misleading produk, pailit, dan gagal bayar.
“Jumlah konsumen yang mengadu ke kami luar biasa banyak. Kami menyebut berkah atau bencana. Rabu, kami terima rekor MURI mendapat aduan terbanyak di bidang asuransi,” ungkapnya.
Direktur Teknis IFG Rianto Ahmad menekan perlunya manajemen risiko diimplementasikan oleh perusahaan-perusahaan, guna mendorong iklim industri asuransi yang sehat. Ia berharap, upaya manajemen risiko ini menjadi bagian dari budaya perusahaan.
Selain itu, dalam pembenahan tata kelola industri ini juga dirinya mendorong peranan aktuaris. Menurut Rianto, IFG telah merekrut banyak tenaga-tenaga aktuaris untuk ditempatkan di anak-anak usaha
Sumber Kontan, edit koranbumn