Sejak dimulainya Doi Moi tahun 1986, Vietnam telah melangkah jauh meninggalkan central planning yg ketat. Negara menjauhkan diri dari berbagai kegiatan yang bersifat distorsif, harga pasar berlaku, dan sejumlah besar BUMN digabung, dibubarkan, atau dijual. Yang terpenting, BUMN yang direformasi diharapkan dapat menetapkan harga mereka sendiri berdasarkan market cost dan diizinkan untuk mempertahankan keuntungan mereka serta berinvestasi kembali sesuai kebutuhan.
Meskipun Vietnam berupaya mengurangi jumlah BUMN, pada saat yang sama Vietnam memperkuat posisi mereka dengan menggabungkan BUMN menjadi konglomerat besar yang mirip Chaebol dan membatasi akses ke sektor² strategis tempat BUMN beroperasi. Ada motivasi pembangunan yang penting di balik pilihan ini. Pemerintah Vietnam mengandalkan BUMN sebagai sumber pendapatan pajak dan sebagai wahana redistribusi ekonomi ke daerah² miskin. Terlepas dari tujuan mulia ini, hambatan masuk yang lebih tinggi memungkinkan BUMN beroperasi di pasar yang kurang kompetitif di mana mereka terlindungi dari persaingan domestik dan asing.
Menjelang masuk WTO, BUMN² yang tersisa menyumbang kurang dari 10% dari total perusahaan Vietnam, tetapi hadir di semua sektor ekonomi dan menyumbang porsi kapital yang besar (misalnya 80% di bidang pertanian dan ketenagalistrikan, 40% di bidang manufaktur). Meskipun telah dikorporatisasi dan direformasi secara drastis, menjelang akses WTO, BUMN Vietnam lebih menguntungkan dan kurang produktif dibandingkan POE. Yang penting, perbedaan produktivitas antara BUMN dan milik swasta meluas secara substansial setelah masuk ke WTO. Selama periode 2006-2007, terdapat dispersi produktivitas yang luas dan tumpang tindih yang substansial antara distribusi produktivitas kedua jenis perusahaan tersebut. Namun, pada tahun² pasca-WTO, distribusi produktivitas swasta secara progresif bergeser ke kanan, yang menyebabkan kesenjangan yang jauh lebih besar antara swasta dan BUMN.
Karena Vietnam berada dalam posisi tawar yang lemah dalam mencari akses ke WTO, pemotongan tarif most favoured nation (MFN) memberikan variasi eksogen dalam paparan internasional, karena tarif turun dari rata² 20% pada tahun 2006 menjadi 8% pada tahun 2009 dan sangat bervariasi di seluruh industri. Analisis ekonometrik, berdasarkan data tingkat perusahaan dari perusahaan manufaktur dalam Sensus Perusahaan Vietnam, menghasilkan beberapa temuan menarik. Seperti yang diprediksi oleh model perdagangan kanonik, profitabilitas perusahaan menurun dan perusahaan yang berkinerja buruk diusir dari pasar. Namun, seleksi yang disebabkan oleh perdagangan ini hanya berlaku untuk perusahaan swasta. Dalam industri di mana akses WTO membawa pemotongan tarif impor yang lebih kuat, probabilitas kelangsungan hidup perusahaan swasta mengalami penurunan yang lebih kuat.
Demikian pula, penurunan profitabilitasnya dikaitkan dengan pemotongan tarif. Dengan demikian, penurunan profitabilitas paling menonjol di sektor industri yang mengalami pemotongan terdalam. Sebaliknya, tidak ada hubungan yang dapat diamati antara pemotongan tarif, profitabilitas, dan kelangsungan hidup di antara BUMN.***















