Ledakan pandemi saat ini di Indonesia, memberikan dampak perekonomian yang berbeda dibandingkan dengan krisis-krisis ekonomi yang pernah terjadi sebelumnya. Tahun 1998, Indonesia diterpa krisis multidimensi yang mempengaruhi pasar keuangan, ekonomi, sosial dan politik. Hal ini mengakibatkan rupiah melemah 540% dan banyak usaha korporasi melemah.
Direktur Utama BRI Sunarso menjelaskan, krisis ekonomi karena pandemi kali ini berbeda dengan masalah ekonomi pada 1998, 2008, atau 2013 lalu. Krisis ekonomi 1998 dipicu nilai tukar di Korea Selatan, masuk ke Asia Tenggara dan memukul Indonesia.
Pada 2008 krisis terjadi di Amerika Utara dan Eropa yang dipicu kegagalan korporasi di Amerika Serikat untuk membayar kewajibannya. Hal itu berpengaruh terhadap suku bunga, besaran inflasi dan nilai tukar. Adapun pada 2013 krisis dipicu kegagalan di Eropa yang berpengaruh juga pada inflasi, nilai tukar, suku bunga dan yang paling terdampak adalah korporasi. Pada 2020 krisis merata di seluruh dunia yang disebabkan pandemi. Non performing loan (NPL) naik terutama pada nasabah di segmen pelaku UMKM. Di sisi lain, UMKM adalah tulang punggung BRI.
Hal tersebut dijelaskan oleh Sunarso pada acara webinar CEO Talk yang mengambil tema “Cracking The Transformation Secret” (15/07). Acara webinar CEO Talk yang diselanggarakan oleh Indonesia Finance Learning Institute tersebut merupakan langkah kolaborasi learning center dari BUMN sektor keuangan dibawah binaan Kementerian BUMN.
Sunarso mengatakan bahwa pada 2016 pihaknya sudah merancang strategi untuk menjaga pertumbuhan perseroan melalui konsep besar BRIvolution 1.0. Program tersebut diuji coba pada 2017 dan telah dilaksanakan sejak tahun 2018.
BRI menyadari bahwa pada saat ini rata rata umur perusahaan kelas dunia (S&P 500) menurun dari tahun ke tahun, dan pada tahun 2025 rata rata umur perusahaan hanya 12 – 15 tahun. Salah satu faktor utama pendorong perubahan yakni kecepatan perkembangan teknologi yang mengalahkan kecepatan perubahan individu manusia, organisasi bisnis dan pemerintahan. “Oleh karenanya semua perusahaan, termasuk BRI harus waspada agar tidak masuk dalam tahap tahap kemunduran. Strateginya yakni dengan melakukan transformasi,” urai Sunarso.
Saat itu, berlandaskan BRIvolution 1.0 pihaknya ingin mencapai target The Most Valuable Bank in Southeast Asia dan Home to The Best Talent. Namun, sejak awal 2020 masalah pandemi Covid-19 mulai melanda Indonesia. Tak ayal krisis ekonomi yang dipicu masalah kesehatan itu memukul perekonomian dunia termasuk Indonesia.
“Itu [UMKM] yang dulu tidak kena krisis sekarang kena krisis. Maka kita harus me-review transformasi kita. BRIvolution 1.0 itu menjadi BRIvolution 2.0. Kami tetapkan mulai 2020,” ujarnya.
Hal tersebut mengubah kebijakan jangka pendek manajemen BRI yang kemudian menetapkan business follow stimulus. Sebabnya, kata Sunarso, ekonomi yang terpukul pandemi sangat mengandalkan stimulus dari Pemerintah. Di sisi lain, BRI terus memperkuat fundamental bisnis untuk tumbuh.
Visi besar BRI pun turut diubah menjadi The Most Valuable Banking Group in Southeast Asia & Champion of Financial Inclusion. Pihaknya sadar hadirnya tantangan ini mendorong BRI harus semakin melibatkan seluruh komponen anak perusahaan. Fokus bank dengan jejaring terluas di Tanah Air tersebut akan dikembalikan pada khittahnya di segmen UMKM termasuk usaha Ultra Mikro (UMi). Champion of Financial Inclusion pun dimaksudkan untuk menjaga pertumbuhan berkesinambungan BRI. Pihaknya mencari sumber pertumbuhan baru dengan prinsip go smaller, dengan fokus pada usaha kecil.
Tentunya dengan tenor pendek sesuai kebutuhan atau go shorter. BRI pun memperkuat digitalisasi layanan jasa keuangannya atas prinsip go faster, sehingga prinsip go cheaper atau berbiaya murah dan efisien tercipta. “Maka Champion of Financial Inclusion kita terjemahkan sebagai BRI harus mampu melayani rakyat sebanyak mungkin, nasabah sebanyak mungkin, dengan biaya semurah mungkin,” tuturnya.