Sejumlah badan usaha milik negara bidang konstruksi (BUMN) kian agresif menggali pendapatan untuk mengurangi beban utang yang terus menggunung, khususnya kewajiban jangka pendek. Senior Vice President Corporate Secretary PT Waskita Karya (persero) Tbk, Shastia Hadiarti, mengatakan entitasnya menunggu pembayaran proyek berskema turnkey untuk menebalkan kas.
“Tahun ini targetnya Rp 10 triliun yang pencairannya bertahap,” katanya kepada Tempo, Senin 24 Februari 2020.
Dana segar Waskita itu datang dari dua proyek turnkey atau yang dibayar setelah rampung, seperti Jalan Tol Layang Jakarta Cikampek senilai Rp 4,5 Triliun serta konstruksi kereta rel ringan (light rail transit/LRT) Palembang sebesar Rp 2,7 Triliun. Secara bertahap, ujar Shastia, Waskita masih akan mendapat bayaran Rp 18,7 triliun dari proyek selain turnkey. “Ada juga pengembalian piutang dana talangan tanah dari Lembaga Manajemen Aset Negara (LMAN) sekitar Rp 4,5 Triliun tahun ini.”
Perusahaan pun melego konsesi enam ruas jalan tol, baik dengan skema pelepasan langsung kepada investor maupun skema reksadana penyertaan terbatas. Menurut Direktur Keuangan, Waskita Karya Haris Gunawan, negosiasi harga setiap ruas bisa memakan waktu setengah tahun.
Meski masih melalui proses valuasi. Lego ruas itu dipatok memangkas outstanding kredit hingga Rp18,9 triliun. Empat proyek yang sudah pasti ditawarkan berada di lintas Trans Jawa, mulai dari Tol Kanci-Pejagan, Pejagan-Pemalang, Pemalang-Batang, serta Pasuruan-Probolinggo. Sementara sisanya adalah tol perkotaan.
Utang emiten konstruksi ternama Tanah Air, terutama Waskita, PT Wijaya Karya (persero), serta PT Adhi Karya (persero) kian mengkhawatirkan. Anggota III Badan Pemeriksa Keuangan, Achsanul Qosasi, mengatakan rasio utang terhadap permodalan (Debt to Equity Ratio) juga naik hampir 100 persen pada 2015-2018. “DER Waskita sempat naik 5 kali, sementara perusahaan karya lainnya 2-3 kali,” ucapnya kepada Tempo.
Total liabilitas atau kewajiban utang Waskita hingga triwulanan ketiga 2019 menembus Rp 108 triliun, dengan tagihan jangka pendek sebesar Rp 58 triliun. Saat ini, utang itu berkisar Rp 106 triliun.
“Kalau kupon bunga bulannya 0,7 persen, mereka harus bayar Rp 700 miliar sebulan, atau 30 miliar sehari,” ucap Achsanul.
Asumsi itu merujuk pada rata-rata bunga kredit modal kerja yang diberikan perbankan kepada perusahaan konstruksi, sebesar 0,7 persen per bulan atau 8,4 persen per tahun.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance, Abra Talattov, justru menyoroti DER PT Adhi Karya. “Melonjak paling besar dari 3,78 kali pada 2018 menjadi 4,35 tahun lalu.”
Merujuk presentasi manajemen Adhi Karya di ruang rapat Komisi BUMN Dewan Perwakilan Rakyat pada Senin pekan lalu, utang jangka pendeknya pun naik dari Rp 18,9 triliun menjadi Rp 23 triliun.
Direktur Utama PT Adhi Karya, Budi Harto, mengatakan utang perusahaannya yang berbasis bunga hanya Rp 10,5 triliun, sementara ekuitas Rp 6,8 triliun. “DER tergolong aman,” tuturnya.
Adhi Karya, kata dia, mengejar pemasukan Rp 2,5 triliun dari penawaran saham perdana (initial public offering/IPO) anak usaha, PT Adhi Commuter Properti. “Maret nanti diharapkan pencairan turnkey ruas Tol Aceh-Sigli yang akan diresmikan.”
Wakil Menteri BUMN, Budi Gunadi Sadikin, mendorong sekuritisasi aset untuk memangkas risiko keuangan perusahaan konstruksi tersebut. “Sebagian aset bisa mereka recycle untuk menurunkan utamg. Itu teknik perbankan,” katanya di kompleks DPR, Jakarta,
Sumber antaranews edit koranbumn