Deputi Bidang Restrukturisasi dan Pengembangan Usaha Kementerian BUMN Aloysius Kiik Ro mengatakan BUMN meraup US$13,5 miliar atau setara Rp202,5 triliun dari Pertemuan IMF-WB di Nusa Dua, Bali, 8-14 Oktober 2018.
“Bisa lebih dari itu, karena nilai sebesar itu hanya dari pertemuan teknis dalam Forum Investasi Infrastruktur di arena Pertemuan IMF-WB di Bali yang melibatkan Kementerian BUMN, Kementerian Keuangan, BI, dan OJK,” katanya kepada Antara disela-sela kegiatan Paviliun Indonesia dalam rangkaian Pertemuan IMF-WB di Nusa Dua, Bali, Jumat (12/10/2018).
Menurut dia, hasil dari pertemuan teknis kalangan BUMN dengan investor yang mengikuti pertemuan IMF-WB di Bali sebenarnya ada yang merupakan hasil perundingan dalam beberapa tahun terakhir, namun Pertemuan IMF-WB justru meyakinkan para investor untuk bekerja sama.
“Padahal, BUMN tidak hanya memanfaatkan momentum Pertemuan IMF-WB itu untuk pertemuan teknis dengan investor dunia, karena BUMN juga menjadi ‘sponsorship’ pertemuan itu serta melakukan promosi dengan menggelar Paviliun Indonesia sebagai pameran atau etalase Indonesia,” katanya.
Artinya, selain investasi dari hasil pertemuan teknis, katanya, juga ada transaksi dari hasil pameran “Paviliun Indonesia” di sela pertemuan tahunan IMF-WB yang mencatat lebih dari Rp211 juta hingga hari keempat, Kamis (11/10/2018) , atau transaksi rata-rata Rp50 juta-Rp60 juta per hari, dari produk UMKM.
“Jadi, kami dari BUMN memanfaatkan momentum Pertemuan IMF-WB di Bali itu untuk dua hal yakni pertemuan sebagai ajang promosi dan delegasi yang memiliki potensi bisnis, karena pertemuan tahunan IMF-WB itu juga dihadiri para pemegang saham dan investor,” ujar Aloysius.
Potensi Bisnis
Terkait adanya potensi bisnis itulah, Kementerian BUMN akhirnya meminta izin pihak IMF-WB untuk mengadakan pertemuan teknis antara BUMN dengan sejumlah investor dunia dalam empat sesi terkait energi, kelistrikan, teknologi, dan infrastruktur.
“Investasi terbesar dari nilai kerja sama sebesar Rp202,5 triliun atau US$13,5 miliar itu diperoleh PT Pertamina Persero senilai US$6,5 miliar dari kerja sama dengan perusahaan minyak dan gas di Taiwan, CPC Corporation,” tukas Aloysius.
Pertamina bersama CPC akan bekerja sama membangun pabrik bahan baku petrokimia berskala internasional yang akan menghasilkan produk turunan dari minyak mentah yang bisa menjadi nilai tambah bagi Indonesia.
“Itu karena proyek bersama itu akan dapat mengurangi impor bahan baku senilai US$2,4 miliar per tahun, karena akan menutupi separuh dari kebutuhan dalam negeri yang selama ini impor, apalagi juga ada keuntungan tenaga kerja dan kandungan lokal,” jelas Aloysius.
Selain Pertamina, di sektor energi juga ada proyek hilirisasi Antam dan Inalum dengan perusahaan dari China yaitu Aluminium Corporation of China Limited (Chalco) di Mempawah, Kalimantan Barat dengan nilai investasi mencapai US$850 juta.
“Kerja sama Antam, Inalum dan Chalco ini mengubah bauskit jadi alumina hingga 1 juta per ton, padahal alumina itu selama 100 persen impor, sehingga bisa menekan impor dan menghemat devisa hingga 650 juta dolar AS,” katanya.
Aloysius menambahkan pertemuan teknis yang tertunda dua hari dari rencana Selasa (9/10/2018) menjadi Kamis (11/10/2018) karena menunggu kehadiran Presiden Joko Widodo itu juga menghasilkan pendanaan alternatif yang merupakan sinergi antara AIA dengan Taspen.
“Pendanaan alternatif yang mendapat dukungan dari OJK adalah dinfra atau dan infrastruktur yang nantinya akan dialokasikan untuk pembiayaan infrastruktur, seperti jalan tol dan proyek-proyek Jasamarga,” katanya.
Sumber Bisnis.com