Emiten BUMN maskapai, PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. (GIAA) telah menghasilkan kinerja operasional yang lebih baik.
PLH Direktur Utama sekaligus Direktur Keuangan dan manajemen Risiko Garuda Indonesia Prasetio menjelaskan kinerja operasional perseroan telah membaik terutama setelah rampungnya proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) pada pertengahan Juli 2022.
“Garuda pandemi dapat tekanan berat dari revenue drop hampir 70 persen diikuti tambahan utang cukup besar, kemudian membaik mulai April lalu, dan hari raya, pada saat ini [Juni 2022] per bulan kami sudah mencapai revenue sekitar US$120 juta,” jelasnya dalam RDP di Komisi VI DPR, Kamis (30/6/2022).
Dia menjelaskan saat ini beban biaya langsung atau direct cost juga telah ditekan dengan dipertahankan pada kisaran 50 persen total beban. Adapun, beban biaya langsung terbesar dikontribusi dari biaya bahan bakar avtur.
Berdasarkan data perseroan, pendapatan pada Juni 2022 mencapai US$126 juta dengan beban biaya sebesar US$118 juta. Artinya, perseroan telah mencapai laba operasi sebesar US$8 juta. Perseroan juga telah berhasil menurunkan persentase biaya langsung terhadap pendapatan menjadi 52 persen.
Emiten berkode GIAA ini telah mengurangi secara bertahap biaya tetap selain biaya sewa dan overhead cost.
“Kami restrukturisasi konsolidasi dengan memotong biaya fixed cost khususnya salary dan turunnya pasca homologasi atas biaya sewa pesawat yang bisa hampir di atas 50 persen bisa kami efisienkan,” tambahnya.
Hingga Mei 2022, total fixed cost perseroan berhasil ditekan menjadi US$26 juta, dengan rincian biaya personel US$12 juta, biaya sewa pesawat US$7 juta, dan biaya overhead US$7 juta.
Jika mengacu data kuartalan, pada kuartal I/2022 fixed cost GIAA turun menjadi US$25 juta dibandingkan dengan kuartal IV/2021 sebesar US$56 juta. Hal ini seiring dengan berhasil ditekannya biaya sewa pesawat.
Seiring rampungnya proses PKPU, GIAA juga berhasil menurunkan total hutang 50 persen menjadi US$5,1 miliar setara Rp73,95 triliun (kurs Rp14.500) dari posisi US$10,1 miliar atau Rp146,45 triliun sebelum PKPU.
Berdasarkan laporan keuangan GIAA yang baru dirilis hingga kuartal III/2021, perseroan masih mencatatkan rugi usaha sebesar US$1,34 miliar meningkat dibandingkan dengan rugi usaha periode yang sama pada 2020 sebesar US$1,05 miliar.
Adapun, rugi usaha per kuartal III/2021 dikontribusi dari beban usaha yang lebih tinggi sebesar US$1,98 miliar dari pendapatan usaha yang hanya US$939,02 juta.
Saat ini GIAA mengoperasikan 34 pesawat dan ditargetkan dapat meningkat menjadi 70 pesawat seiring dengan rencana penambahan modal dari pemerintah melalui rights issue sebesar Rp7,5 triliun.
Sumber Bisnis, edit koranbumn