Debitur-debitur kakap menahan pengajuan kredit ke perbankan lantaran bisnis yang belum normal yakni mulai dari PLN, Pertamina, hingga XL Axiata.
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan, dari 100 debitur besar yang mengalami penurunan baki debet, terdapat 57 debitur terbesar dengan rata-rata penurunan 11,35% dan 43 debitur mengalami kenaikan dengan rata-rata 27,39%.
Adapun 10 besar debitur yang mengalami penurunan baki debet pada Maret 2020 berbanding September 2020, yakni PLN dengan penurunan baki debet sebesar 14,74%, Pertamina turun 32,74%, Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia turun 35,94%, Toyota Astra Financial Services turun 29,46%, Bulog turun 22,7%, Indah Kiat Pulp Paper turun 19,24%, XL Axiata turun 39,75%, Sarana Multi Infrastruktur turun 24,58%, Indofood Sukses Makmur turun 27,05%, dan Perum Pegadaian turun 9,02%.
Secara nominal, penurunan baki debet terbesar sejak Maret 2020 hingga September 2020 adalah PLN dengan turun Rp16,5 triliun, Pertamina Rp10,3 triliun, LPEI Rp4,8 triliun, Toyota Astra Financial Services Rp4,7 triliun, dan Bulog Rp4,6 triliun.
Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan penurunan baki debet dilakukan debitur tersebut bukan karena tidak memiliki dana. Namun, debitur-debitur tersebut tidak sanggup membayar bunga yang mahal di tengah penjualan yang rendah karena adanya pandemi Covid-19. Bisnis debitur-debitur tersebut belum kembali seperti semula di tengah pandemi.
“Dari 100 debitur,Ā topĀ 10 di antaranya semua turunkan baki debet, ‘gajah-gajah’ itu, ‘pak saya ada duit tetapi kan bayar bunga mahal, sedangkan bisnis belum kembali seperti semula’,” katanya dalam webinar, Selasa (24/11/2020).
Menurutnya, agar kredit mampu tumbuh lagi, perlu ada upaya ntuk mendorongĀ demandĀ melalui proyek-proyek besar yang mempekerjakan tenaga kerja dengan jumlah besar. Agar ini terwujud, perlu adaĀ government leadĀ agar memudahkan terjadinya koordinasi.
Perbankan pun siap menyalurkan kredit seiring dengan suku bunga yang akan ditransmisikan turun. Di tengah kondisi pandemi, perbankan dinilai tidak akan mengejar margin bunga bersih atauĀ net interest marginĀ (NIM).
“Aneh kalau kondisi seperti ini perbankan tidakĀ sharing pain, kalau perlu NIM (net interest margin) turun supaya bunga kredit semakin turun,” katanya.
Suku bunga kredit pun dinilai tidak menjadi masalah.Ā DemandĀ kredit yang masih rendah dinilai menjadi faktor yang mempenngaruhi pertumbuhan kredit. Korporasi pun diharapkan dapat bangkit segera untuk mengerek pertumbuhan kredit.
Meskipun, hingga akhir tahun nanti pertumbuhan kredit masih akan kecil tetapi Indonesia dinilai memiliki ruang ungkit besar lewat memaksimalkan sejumlah sektor usaha yang bisa menyerap tenaga kerja besar.
“Dengan pekerja orang sehingga orang yang bekerja tadi membuat sumber permintaan barang bangkit, itu adalah skenario yang mesti kita prioritaskan,” katanya.
Sumber Bisnis, edit koranbumn