PT Danantara Investment Management (Persero) menyebut banyak pemain lokal tertarik masuk dalam konsorsium yang bakal menggarap proyek energi sampah atau waste-to-energy (WTE).
Saat ini, Danantara telah mengantongi 24 nama-nama perusahaan global penyedia teknologi proyek WTE yang dapat mengajukan penawaran tender dengan cara membentuk konsorsium bermitra dengan pemain lokal, baik itu perusahaan swasta, BUMN atau BUMD.
Managing Director Investment Danantara Investment Management Stefanus Ade Hadiwidjaja mengatakan, sebelum 24 nama perusahaan global masuk ke dalam Daftar Penyedia Terseleksi (DPT), ada sebanyak 200 perusahaan yang menyatakan minat, dan dari angka itu ada 60 yang melakukan pengajuan ke Danantara.
“Saya yakin banyak yang tertarik, soalnya dari yang awal registrasi 200 itu, bahkan [60 perusahaan] yang melakukan submission aplikasi itu, juga banyak pemain lokal sebenarnya,” ujar Stefanus saat ditemui di Menara Bank Mega, Jakarta, Rabu (19/11/2025).
Stefanus mengatakan dalam proses pembentukan konsorsium itu Danantara tidak terlibat, dan memberikan kebebasan bagi 24 perusahaan dalam DPT untuk menjalin komunikasi dengan calon mitra.
Adapun, salah satu pemain besar yang punya portofolio proyek waste management, PT TBS Energi Utama Tbk. (TOBA), telah menyatakan untuk saat ini belum melirik untuk bergabung dengan proyek WTE Danantara.
Menanggapi hal itu, Stefanus mengatakan Danantara memang tidak mendata siapa saja emiten dalam negeri yang tertarik dan tidak tertarik untuk bergabung dengan konsorsium. Namun, sebanyak 200 perusahaan yang menyatakan minat bisa menjadi bukti animo proyek WTE Danantara ini cukup besar.
“Jadi kalau tadi dibilang demand sedikit, orang tidak tertarik, saya rasa sejauh ini tidak juga. Sepertinya dengan skema yang baru ini cukup menarik,” tegasnya.
Adapun, skema proyek WTE ini diatur di dalam Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2025 tentang Penanganan Sampah Perkotaan Melalui Pengolahan Sampah Menjadi Energi Baru Terbarukan.
Stefanus menjelaskan, salah satu perubahan dalam regulasi ini adalah ditiadakannya tipping fee pemerintah daerah yang selama ini dianggap menjadi kendala proyek WTE. Komponen tersebut digantikan oleh pengaturan harga pembelian tenaga listrik oleh PT PLN (Persero) sebesar US$0,20 per kilowatt per jam (kWh) untuk semua kapasitas pembangkit.
Kala ditanya nilai keekonomisan proyek yang membuat pemain lokal belum tertarik bergabung, Stefanus mengatakan setiap perusahaan punya perhitungan mereka sendiri. Namun yang pasti, lanjutnya, proyek WTE Danantara ini selain bisnis juga bertujuan untuk penanganan masalah sampah perkotaan.
“Buat kita Danantara, dan saya yakin juga bagi investor yang tertarik, ini bukan cuma masalah untung, return atau cuan. Ini yang lebih penting adalah masalah penyelesaian darurat sampah yang sudah terjadi di berbagai macam kota. Jadi dua hal, economic return dan social return. Kalau keduanya digabung, ini sebenarnya sangat baik,” pungkasnya.
Sumber Bisnis, edit koranbumn














