Alunan musik calung disertai tembang Banyumasan terdengar jelas di areal hutan pinus Bukit Watubangkong, Desa Paningkaban, Kecamatan Gumelar, Banyumas.
Di sela penampilan lengger lokal itu, kegiatan peluncuran dan pameran produk unggulan desa dilaksanakan. Tak disangka, hutan pinus Perhutani Banyumas Barat yang biasanya sepi, berubah menjadi ramai semarak dikunjungi tamu warga lokal hingga luar kota.
Dari keterangan pemerintah desa setempat inilah, lokasi tersebut direncanakan akan menjadi ‘Kampung Ilmu’. Areal Perhutani Banyumas Barat di petak 61 ini direncakan akan menjadi sentra pembelajaran pertanian, kehutanan, peternakan, bahkan perikanan.
Semua direncanakan akan diwujudkan antara lain melalui program Transformasi Sosial Ekonomi (Transosek) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI. “Dari pendataan dan pemetaan tim, kerusakan lingkungan, krisis air bersih, hingga pengangguran menjadi ancaman nyata yang akan terjadi 10-20 tahun mendatang. Makanya jika tidak diatasi bisa menjadi masalah dan bencana sosial.
Makanya ini menjadi perhatian kami,” tutur Kepala Desa Paningkaban, Sukarmo. Di tengah belum optimalnya pengelolaan hutan, ancaman krisis air bersih mulai dirasakan warga. Apalagi saat ini di lokasi hutan milik pemerintah maupun warga sudah sangat jarang terdapat tanaman penangkap air seperti beringin, trembesi, aren, mbulu, dan sebagainya.
Makanya, sebagian dari 22 sumber mata air kini telah mengering. “Belum lagi masalah ancaman pencemaran lingkungan akibat pertambangan rakyat yang digeluti 50 persen dari 5.653 jumlah penduduk kami. Ini menjadi pemikiran dan mulai kami antisipasi dengan berbagai cara termasuk program transosek dan otonomi desa.
Sekarang ini baru 12 hektare lahan yang mulai digarap, sementara Perhutani menawarkan lahan hingga 400 hektare untuk dikelola,” katanya. Untuk mengantisipasi masalah sosial ekonomi dan ekologi itulah, program Transosek sekaligus Kehutanan Sosial yang memungkinkan warga sekitar hutan mengelola sumber daya hutan dengan kontrak kerja sama 35 tahun dengan PT Perhutani dilaksanakan.
Dengan posisi setara dengan Perhutani inilah, warga masyarakat desa hutan punya hak mengelola hutan termasuk menanam tanaman kayu dan nonkayu asal tidak mengganggu tanaman induk. Selain itu kerja sama di bidang pariwisata alam dan buatan di lokasi Perhutani kini tengah dirintis.
Wisata Edukasi
“Nantinya selain ada wisata edukasi buatan berupa Kampung Ilmu, kami juga mengelola lokasi goa alami dengan panorama pegunungan, bukit perkemahan hingga olahraga gunung di wilayah desa sebelah timur.
Industri kreatif yang digeluti warga akan kami dukung pemasarannya termasuk menghidupkan kembali kerajinan tenun,” ujar Sukarmo. Bergesernya pola hidup masyarakat desa yang sebelumnya bercorak rural agraris menjadi urban, kini pun menjadi perhatian tersendiri.
Untuk itulah kebijakan desa bersama pemerintah kini mendorong dilestarikannya kembali berbagai kearifan lokal termasuk gotong royong hingga seni budaya masyarakat asli setempat. Selain lengger, kini juga dilestarikan seni kentongan, sintren, kuda lumping sebagai kekayaan seni budaya desa setempat.
“Jangan sampai ketika ekonomi berkembang, maka ekologi hingga identitas masyarakat desa yang ramah dan suka bergotong royong hilang. Makanya kami mendorong agar pengembangan ekonomi harus diimbangi dengan pelestarian sosial budaya setempat,” kata Dani Armanto, koordinator program Transosek KLHK di Paningkaban.
Tumbuhnya ekonomi dan ekologi berkelanjutan melalui pengelolaan hutan oleh masyarakat inilah yang menjadi muara tujuan regulasi kehutanan sosial. Diharapkan selain pemasaran lokal, produk hutan, kerajinan masyarakat dan industri khas desa lainnya bisa dipasarkan dalam jaringan (daring).
Makanya peran sumber daya manusia terutama generasi muda yang punya kapasitas mengelola teknologi informasi komunikasi kini dioptimalkan. Keberadaan warga Paningkaban yang menjadi buruh migran di luar negeri juga ditarget menjadi agen pemasaran produk lokal desa setempat. “Di sini sudah ada website desa berupa beritapaningkaban.id.
Sementara untuk pengenalan dan pemasaran produk khas lokal desa yang kini terus didata, dipetakan dan dikembangkan telah ada pasarpaningkaban. id. Kami berharap ini menjadi bagian untuk kemandirian desa secara ekonomi tanpa tercerabut akar budaya dan identitasnya sebagai desa,” ujar Dani.
Sumber Situs Web PERHUTANI/suaramerdeka.com