PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI) mampu membalikkan performa kinerja keuangan di 2021 dibandingkan 2020. Direktur Utama BNI, Royke Tumilaar menyatakan pertumbuhan laba bersih 232,2% yoy menjadi Rp 10,89 triliun di sepanjang tahun lalu.
Padahal pada 2020, laba bersih BNI terkontraksi hingga 78,7% yoy dari Rp 15,28 triliun di 2019 menjadi Rp 3,28 triliun. Hal ini terjadi saat, BNI melakukan peningkatan pencadangan 149,49% yoy dari Rp 8,83 triliun menjadi Rp 22,03 triliun di 2020.
Kini, BNI mulai mengurangi pencadangan menjadi Rp 18,29 triliun atau turun 17,0% yoy. Selain itu, BNI mampu mengerek pendapatan bunga bersih 12,4% yoy dari Rp 34,04 triliun menjadi Rp 38,24 triliun di sepanjang 2021.
Selain itu, BNI mampu meningkatkan Pendapatan Operasional Sebelum Pencadangan (PPOP) yang naik 14,8% yoy dari Rp 27,06 triliun mencapai Rp31,06 triliun.
Peningkatan pendapatan operasional bank dihasilkan dari pertumbuhan kredit yang sehat sebesar 5,3% yoy menjadi Rp 582,44 triliun. Sedangkan Net Interest Margin (NIM) mampu naik dari level 4,5% di 2020 menjadi 4,7% di 2021. Adapun pendapatan berbasis komisi naik 12,8% yoy dari Rp 12,09 triliun menjadi Rp 133,63 triliun.
“Pendorong utama kredit selama tahun 2021 adalah penyaluran di sektor Business Banking terutama pembiayaan ke segmen Korporasi Swasta yang tumbuh 7,6% yoy menjadi Rp 180,4 triliun; segmen Large Commercial yang tumbuh 10,4% yoy menjadi Rp 40,9 triliun,” ujar Royke secara virtual pada Rabu (26/1).
Lalu, kredit segmen kecil juga tumbuh 12,9% yoy dengan nilai kredit Rp 95,8 triliun. Secara keseluruhan kredit di sektor Business Banking ini tumbuh 4,5% yoy menjadi Rp 482,4 triliun.
Sementara di sektor konsumer, kredit terbesar yang tumbuh adalah kredit payroll, yaitu naik 18,3% yoy menjadi Rp 35,8 triliun; kemudian kredit kepemilikan rumah (mortgage) tumbuh 7,7% yoy menjadi Rp 49,6 triliun. Secara keseluruhan kredit konsumer tumbuh 10,1% yoy menjadi Rp 99 triliun.
Kinerja kredit ditopang oleh peningkatan Dana Pihak Ketiga (DPK) 15,5% yoy dari Rp 631,55 triliun menjadi Rp 729,16 triliun. Sedangkan Dana murah menyumbang 69,4% dari seluruh DPK, sebab tumbuh hingga 17,1% yoy menjadi Rp 506,06 triliun.
Pertumbuhan dana murah ini mendorong perbaikan biaya dana atau Cost of Fund dari 2,6% pada akhir tahun 2020 menjadi 1,6% tahun 2021.
Royke optimis kredit sepanjang 2022 bisa tumbuh 7% hingga 10% yoy. BNI akan banyak mengubah proses bisnis secara digital dan memperkuat manajemen risiko. Sektor yang prospektif banyak sekali, mulai dari pembangunan infrastruktur, hilirisasi, pengolahan, pertanian, logistik, dan kesehatan serta properti.
Melalui perbaikan manajemen risiko, BNI berharap rasio kredit bermasalah bisa turun ke level dibawah 3% di penghujung tahun ini. Target ini akan melanjutkan penurunan NPL BNI dari 4,3% di 2020 dan 3,7% di 2021.
Tak sampai disitu, BNI berencana menerbitkan obligasi hijau (green bond) pada tahun ini. Dana yang terhimpun akan digunakan untuk memperkuat keuangan berkelanjutan perseroan. Tercatat portofolio hijau BNI tercatat Rp 172,4 triliun atau 29,6% dari total portofolio kredit BNI.
Selain itu, BNI akan merampungkan rencana mengakuisisi 63,92% Bank Mayora sebagai upaya perseroan untuk mendirikan bank digital yang fokus ke UMKM.
Skema akuisisi akan dilakukan dengan membeli saham yang sudah ada yang dimiliki International Finance Corporation (IFC) dan mengambil alih saham baru yang akan diterbitkan Bank Mayora sebanyak 1.029.151.550 yang mewakili 54,9% dari saham yang telah ditempatkan dan disetor penuh.
Nilai akuisisi tersebut mencapai Rp 3,5 triliun. Adapun dana yang digunakan berasal dari kas internal atau laba ditahan BNI.
Sumber Kontan, edit koranbumn