PT Garuda Indonesia Tbk. (GIAA) mempertimbangkan langkah hukum yang akan ditempuh dalam menghadapi putusan kasus tiket umrah dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra menuturkan tengah mempelajari hasil putusan persidangan tersebut untuk mempertimbangkan langkah hukum yang akan ditempuh dengan senantiasa mengedepankan prinsip transparansi dan akuntabilitas.
“Menanggapi hasil putusan persidangan KPPU terkait dugaan pelanggaran Undang-undang Persaingan Usaha No.5/1999 dapat kami sampaikan bahwa Garuda Indonesia sepenuhnya menghormati proses hukum yang sedang berjalan hingga saat ini. Lebih lanjut kami juga akan mempelajari hasil putusan persidangan tersebut untuk mempertimbangkan langkah hukum yang akan ditempuh dengan senantiasa mengedepankan prinsip transparansi dan akuntabilitas,” ujarnya melalui keterangan resminya, Kamis (8/7/2021).
Irfan memaparkan bahwa putusan KPPU tersebut merupakan tindak lanjut dari dugaan praktik diskriminasi terhadap mitra penjualan tiket umrah pada 2019 lalu. Secara berkesinambungan, Garuda telah memperkuat ekosistem industri penerbangan yang sehat dengan melakukan penyesuaian skema bisnis penjualan tiket umrah sejak akhir 2019 lalu. Maskapai pelat merah tersebut menegaskan seluruh penyedia jasa perjalanan umrah yang telah memiliki izin resmi dari otoritas terkait dapat menjadi mitra usaha penjualan tiket penerbangan Garuda untuk perjalanan umrah.
“Kami tetap berkomitmen untuk menjunjung tinggi penerapan prinsip Good Corporate Governance [GCG] dalam praktik tata kelola Perusahaan, khususnya di tengah tantangan industri penerbangan pada situasi pandemi saat ini yang berdampak signifikan terhadap kinerja perusahaan,” imbuhnya.
Sebelumnya, KPPU telah menjatuhkan putusan denda senilai Rp1 miliar terkait dengan kasus tiket umrah yang ditujukan kepada emiten berkode saham GIAA tersebut.
Ketua Majelis Komisi M. Afif Hasbullah menyampaikan maskapai pelat merah tersebut terbukti melanggar pasal 19 huruf d UU No.5 /1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dalam perkara Dugaan Praktek Diskriminasi PT. Garuda Indonesia (Persero) Tbk. terkait Pemilihan Mitra Penjualan Tiket Umrah Menuju dan dari Jeddah dan Madinah. Dia menyimpulkan atas pelanggaran tersebut, emiten berkode saham GIAA dikenakan denda senilai Rp1 miliar.
Menurutnya, pada pembacaan putusan hari ini, Majelis Komisi turut mempertimbangkan kemampuan Garuda untuk membayar berdasarkan Laporan Keuangan 2018, 2019, dan 2020. Berdasarkan pertimbangan tersebut, Majelis Komisi menilai bahwa jika dikenakan tingkat denda tertentu, maka maskapai nasional tersebut berpotensi tidak dapat beroperasi pada kondisi keuangan tersebut.
“Menimbang berbagai fakta, penilaian, analisa, dan kesimpulan di atas, Majelis Komisi menyatakan bahwa PT. Garuda Indonesia (Persero) Tbk. terbukti melanggar pasal 19 huruf d UU No. 5/1999, dan menjatuhkan hukuman berupa denda administratif sebesar Rp1 miliar,” ujarnya.
Denda tersebut, tekannya wajib dilakukan pembayaran selambat- lambatnya 30 hari hari sejak putusan berkekuatan hukum tetap. Apabila terlambat melakukan pembayaran denda, GIAA dapat dikenakan denda keterlambatan sebesar 2 persen per bulan dari nilai denda. Denda keterlambatan pembayaran ini, sebutnya, sejalan dengan ketentuan Peraturan Pemerintah No.58/2020 tentang Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak.
Perkara dengan berkas No.06/KPPU-L/2020 berawal dari laporan publik tersebut mengangkat dugaan pelanggaran Pasal 19 huruf d UU No.5/1999, khususnya terkait upaya penutupan akses saluran distribusi penjualan langsung tiket umrah menuju dan dari Jeddah dan Madinah oleh GIAA melalui Program Wholesaler. Hambatan masuk tersebut berdampak pada sebagian besar Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) lainnya.
PPIU yang ditunjuk oleh GIAA terdiri dari PT. Smart Umrah (Kanomas Arci Wisata), PT. Maktour (Makassar Toraja Tour), PT. NRA (Nur Rima Al-Waali Tour), PT. Wahana Mitra Usaha (Wahana), PT. Aero Globe Indonesia, dan PT. Pesona Mozaik. Pada proses persidangan, Majelis Komisi menilai bahwa tindakan GIAA yang menunjuk keenam PPIU sebagai wholesaler tanpa melalui proses penunjukan yang dilakukan secara terbuka dan transparan, tidak didasarkan pada persyaratan dan pertimbangan yang jelas dan terukur.
Selain itu, lanjutnya, adanya inkonsistensi dalam rasionalitas penunjukan wholesaler,membuktikan adanya praktik diskriminasi GIAA terhadap setidaknya 301 (tiga ratus satu) PPIU potensial dalam mendapatkan akses yang sama dalam hal pembukuan dan/atau pembelian tiket rute Middle East Area (MEA) milik Garuda untuk tujuan umrah.
Sumber Bisnis, Edit koranbumn