PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI menceritakan kesulitan dalam menjalani penugasan dua Proyek Strategis Nasional yakni Light Rail Transit (LRT) Jabodebek dan Kereta Cepat Jakarta-Bandung.
Perusahaan kereta api milik negara itu bertugas sebagai pemilik proyek sekaligus operator LRT Jabodebek dan menjadi pemimpin konsorsium (PT PSBI) dari Kereta Cepat.
Untuk LRT Jabodebek, Direktur Utama PT KAI Didiek Hartantyo menilai proyek senilai Rp29,9 triliun (kemudian bengkak Rp2,6 triliun menjadi Rp32,5 triliun) itu sudah aneh sedari awal karena penugasan pembayaran dibebankan melalui KAI untuk pembangunan sarana sekaligus infrastrukturnya.
“Proyek ini agak aneh [karena] pemilik proyek Kementerian Perhubungan, kontraktornya Adhi Karya, dan di Perpres 49 [2017] PT KAI sebagai pembayar. Jadi kalau dibuka anatomi Perpres 49 itu memang ini sesuatu yang tidak wajar sebetulnya,” terangnya saat Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi V DPR, Rabu (6/7/2022).
Berdasarkan catatan Bisnis, KAI telah mendapatkan total dukungan PMN [Penyertaan Modal Negara] sekitar Rp10 triliun untuk membiayai proyek LRT Jabodebek.
Sisanya sekitar Rp20 triliun dibayar melalui kredit sindikasi 15 bank yang dibayarkan oleh KAI dengan jaminan pemerintah.
“Kami berutang itu Rp20 triliun sendiri. Jadi, bagaimana kami mengembalikan utang kalau tidak ditopang oleh PSO [public service obligation] dari pemerintah untuk pengambilan infrastruktur [LRT]. Ini desainnya sudah tidak benar dari awal,” ucap Didiek.
Didiek juga menceritakan riwayat proyek LRT sejak awal ketika sempat terkendala soal penagihan ongkos pembangunan proyek. Hal tersebut disebabkan karena belum adanya kontrak antara kontraktor BUMN dengan pemerintah hingga 2017.
Pada saat itu, cerita Didiek, Menteri Keuangan menyampaikan negara belum sanggup untuk mengeluarkan dana sebesar Rp29,9 triliun untuk proyek LRT. Akhirnya, pemerintah disebut memberikan dukungan dengan skema cicilan.
Kendala terkait dengan kontraktor, lanjut Didiek, juga sama dialami oleh PSN lainnya yakni Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung.
“Kalau perusahaan yang tidak [bergerak di sektor] kereta api, menjadi penyelenggara kereta api, pasti masalah,” ucap Didiek yang sebelumnya puluhan tahun berkarier sebagai bankir.
Proyek KCJB tidak hanya mundur dari target sejak 2019, biaya proyeknya pun ikut membengkak akibat berbagai faktor. Saat ini, cost overrun proyek KCJB diestimasi US$1,17 miliar sampai dengan US$1,9 miliar (sekitar Rp17 triliun sampai dengan Rp28 triliun) terdiri dari keperluan untuk pembebasan lahan, EPC (Engineering Procurement Construction), financing cost, praoperasi, dan lain-lain.
Estimasi cost overrun itu juga sesuai dengan temuan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan yakni US$1,176 miliar atau sekitar Rp16,8 triliun. Hasil temuan tersebut sudah diserahkan kepada Kementerian BUMN pada Maret 2022.
Didiek pun mengungkap cost overrun tersebut bisa berdampak pada proyek KCJB yang ditargetkan beroperasi pada Juni 2023.
“Cashflow PT KCIC [Kereta Cepat Indonesia China] itu akan bertahan mungkin sampai dengan September. Sehingga kalau ini [PMN] belum turun, maka cost overrun yang penyelesaiannya diharapkan Juni 2023, ini akan terancam mundur,” ujarnya.
Untuk diketahui, DPR baru saja menyetujui pemberian PMN sebesar Rp4,1 triliun guna mendanai cost overrun proyek KCJB, Senin (4/7/2022). Sebelumnya pada 2021, proyek tersebut juga sudah pernah disetujui mendapatkan PMN sebesar Rp4,3 triliun guna pemenuhan base equity capital KCJB.
Sumber Bisnis, edit koranbum n