Pemerintah tengah berupaya untuk mengurangi porsi penggunaan pembangkit listrik tenaga batu bara (PLTU) guna meningkatkan kapasitas pembangkit berbasis energi baru dan terbarukan (EBT).
Direktur Pembinaan Program Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jisman Hutajulu mengatakan, untuk mencapai target porsi EBT dalam bauran energi nasional sebesar 23 persen pada 2025 dibutuhkan setidaknya penambahan kapasitas pembangkit EBT lebih dari 10 gigawatt (GW). Sementara di sisi lain, permintaan listrik menurun signifikan akibat pandemi Covid-19.
“Share PLTU cukup besar saat ini capai hampir 65 persen, sementara kita punya target EBT pada 2025 sebesar 23 persen. Sesuai RUPTL yang baru diperlukan lebih dari 10 GW EBT untuk 2025. Bagaimana ini bisa masuk ke sistem? Salah satu cara adalah mengurangi porsi PLTU karena demand [listrik] kita turun,” ujar Jisman dalam acara Virtual The 9th Indonesia EBTKE ConEx 2020, Selasa (24/11/2020).
Jisman mengungkapkan ada dua opsi yang tengah dipertimbangkan pemerintah untuk mengurangi porsi PLTU. Opsi pertama adalah mengganti PLTU tua yang sudah berusia 20-25 tahun dengan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS).
Pembangunan PLTS didorong karena PLTS memiliki kelebihan, seperti less maintenance, pembangunan tidak membutuhkan waktu yang lama, dan harga dari PLTS semakin turun.
Opsi kedua, yakni melakukan subtitusi sebagian bahan bakar batu bara dengan biomassa pada PLTU yang ada atau disebut co-firing biomassa. Menurut Jisman, saat ini sudah dilakukan uji coba co-firing biomassa sebesar 3-5 persen pada sejumlah pembangkit PLTU milik PT PLN (Persero) dengan hasil yang cukup baik.
“Jadi kami masih lakukan kajian. Menghitung dengan benar, apakah PLTU ini di-replace dengan PLTS atau co-firing sebagian,” kata Jisman.
Hingga semester I/2020, porsi batu bara dalam bauran energi nasional tercatat mencapai 64,27 persen. Porsi ini akan ditargetkan berkurang menjadi 54,6 persen pada 2025.
Sedangkan porsi bauran pembangkit EBT sampai dengan semester I/2020 mencapai 14,17 persen. Porsi EBT ditargetkan meningkat menjadi 23 persen pada 2023.
Jisman menuturkan, masih tingginya porsi PLTU disebabkan harga listrik dari PLTU cukup rendah dibandingkan pembangkit lainnya, sehingga pemerintah masih mempertahankan PLTU untuk menekan biaya pokok penyediaan (BPP) listrik PLN.
“Pendanaan PLTU ke depan semakin sulit sehingga kami secara signifikan akan mengurangi ini. PLTU memang bisa membantu kurangi BPP yang berujung ke tarif listrik. Tapi ke depan, kami harus gantikan, tidak ada alasan lagi dengan alasan BPP karena harga EBT sekarang sudah turun,” katanya.
Sumber Bisnis, edit koranbumn