Banyaknya hambatan nontarif dari berbagai negara ditenggarai menjadi penyebab sulitnya Indonesia menembus pasar ekspor produk farmasi dan alat kesehatan.
Padahal, berdasarkan catatan Kementrian Perdagangan, nilai pasar farmasi Tanah Air pada 2016 mencapai Rp 69 triliun pada 2020. Apalagi, sektor farmasi dicanangkan sebagai salah satu industri tulang punggung perekonomian nasional dalam Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional pada 2015 – 2035.
Sektor tersebut juga menyerap 40.000 tenaga kerja. Saat ini, terdapat 239 perusahaan farmasi di Indonesia dan sebagian besar beroperasi di Jawa Barat, Jawa Timur, dan DKI Jakarta. Mereka memasok 70% kebutuhan obat di dalam negeri
Sementara itu, pasar industri alat kesehatan nasional pada 2018 diperkirakan mencapai Rp 13,5 triliun, tumbuh 10% dari 2017. Saat ini, produksi alat kesehatan Indonesia masih didominasi produk furnitur rumah sakit.
Direktur Kerja Sama Pengembangan Ekspor Kementerian Perdagangan Marolop Nainggolan menjelaskan, kendala utama dalam mengekspor produk farmasi dan alat kesehatan adalah ketatnya persyaratan registrasi di negara tujuan ekspor, sebagai dampak dari kebijakan proteksionesme
“Proses perizinannya bisa memakan waktu lama, bahkan hingga 5 tahun,” ujarnya, Rabu (17/10)
Selain itu, sebutnya, Indonesia kalah saing dengan China dan India yang bisa memproduksi obat dengan harga yang sangat murah
Tantangan lainnya adalah sebanyak 80% – 90% bahan baku produk farmasi Indonesia masih diimpor karena kurangnya pasokan domestik. Tidak hanya itu, belum ada regulasi yang harmonis antarkementrian / lembaga terkait dengan upaya mengakses berbagai negara tujuan ekspor
Marolop menambahkan, masalah teknis juga kerap menghadang upaya ekspor farmasi. Misalnya, untuk vaksin harus segera dikirim dan tiba dalam 24 jam, sehingga membutuhkan mekanisme cold chain dan kontainer khusus. Akibatnya, RI sulit mengekspor ke Benua Amerika.
“Belum lagi apabila suatu negara mensyaratkan produk yang masuk harus menggunakan kemasan khusus atau sumber daya setempat. Selain itu, terkaang timbul masalah pembayaran apabila negara pembeli sedang diembargo atau memiliki sistem pembayaran yang belim sempurna,” terang Marolop.
Ketua Komite Perdagangan dan Industri Bahan Baku GP Farmasi Vincent Harijanto sebelumnya mengatakan, kebijakan pengendalian impor bahan baku bakal menekan tingkat utilisasi industri farmasi yang berada di atas 80% sejak munculnya kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
“Dengan kapasitas produksi yang ada, kami memang menyasar peningkatan ekspor. Namun kalau dari bahan bakunya sudah terganggu [pengendalian impor]. bagaimana kami bisa berekspansi ke luar,” paparnya
Sumber Kimia Farma/Bisnis Indonesia,