Emiten BUMN penerbangan, PT Garuda Indonesia Tbk. (GIAA) mencatatkan rata-rata penambahan utang sebesar US$79 juta atau setara Rp1,14 triliun per bulan sepanjang 2020. Sepanjang kuartal I/2021 pun penambahan utang mencapai US$50 juta per bulannya.
Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengungkapkan berdasarkan kinerja operasional, industri penerbangan di Asia Pasifik mengalami kontraksi yang sangat dalam pada era pandemi Covid-19.
Sebelum masa pandemi, Garuda Indonesia melayani sedikitnya 500-600 penerbangan setiap harinya. Sedangkan di masa pandemi ini, Perseroan hanya melayani rata-rata 150 penerbangan per harinya.
Terlebih pada puncak pandemi yang terjadi sekitar Mei 2020 lalu, pada saat diberlakukannya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan larangan bermobilitas yang ketat, perseroan turut mencatatkan penurunan trafik penerbangan hingga mencapai 90 persen di mana per harinya Garuda Indonesia hanya melayani 10-15 penerbangan.
“Dampak sistemik tersebut, terepresentasikan dari rata-rata penambahan utang Garuda Indonesia sebesar US$79 juta per bulannya sepanjang tahun 2020 lalu,” urainya dalam laporan tahunan perseroan, dikutip Jumat (23/7/2021).
Kondisi tersebut, lanjutnya, tidak jauh berbeda dengan tren rata-rata penambahan utang pada kuartal I/2021 yang tercatat sebesar US$50 juta atau setara Rp750 miliar per bulannya.
Di samping itu, perseroan juga telah mengalami kondisi EBITDA negatif dimulai sejak Semester II/2020. Nilai EBITDA tersebut merupakan indikator penting dalam mengukur kinerja Perusahaan serta kemampuan dalam memenuhi kebutuhan likuiditas.
Nilai EBITDA negatif tentunya merupakan tantangan tersendiri bagi upaya pemulihan kinerja serta sustainability Perseroan.
Untuk menjaga kelangsungan perseroan, Garuda Indonesia melakukan upaya optimalisasi kinerja yang dilakukan dengan berbagai langkah strategis perbaikan performa finansial melalui restrukturisasi perpanjangan tenor kewajiban usaha atas penerbitan Global Sukuk yang jatuh tempo pada Juni 2020, maupun kewajiban usaha dengan pihak layanan kebandarudaraan maupun penyedia avtur/Pertamina.
Lebih lanjut Perseroan turut melakukan upaya renegosiasi biaya sewa pesawat dengan lessor, melakukan penundaan gaji karyawan secara proporsional mulai dari level Direksi hingga karyawan, rasionalisasi SDM serta berbagai upaya strategis pemulihan kinerja lainnya.
Di sisi lain, Perseroan tetap berupaya melakukan langkah terbaiknya dalam memaksimalkan pendapatan usaha, yang salah satunya dilakukan melalui optimalisasi lini bisnis kargo seperti pengembangan passenger freighter, penerbangan khusus kargo dalam mendukung komoditas ekspor, peluncuran kanal bisnis baru “KirimAja”, hingga mengoptimalkan peran pegawai sebagai garda terdepan Perseroan melalui program “Juragan Tiket”, “Juragan Kargo”, dan “Juragan Charter”.
Selain itu, Garuda Indonesia juga berupaya mengoptimalkan pemulihan kinerja melalui dukungan fasilitas “bridging loan” National Interest Account (NIA) dengan skema Penugasan Khusus Ekspor (PKE) bersama dengan Indonesia Eximbank (Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia/LPEI) hingga implementasi Investasi Pemerintah melalui Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang dijalankan dengan menerbitkan instrumen Obligasi Wajib Konversi (OWK) dengan nilai yang telah mendapatkan persetujuan pemegang saham sebesar Rp8,5 triliun.
Sumber Bisnis, edit koranbumn