PT Garuda Indonesia Tbk GIAA) tengah melakukan negosiasi restrukturisasi tagihan dengan PT Pertamina (Persero).
“Kita sedang terus mendiskusikan restrukturisasi dengan Pertamina bersama Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN),” ujar Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra.
Seperti diketahui, mengacu laporan keuangan per 30 September 2020, nilai utang usaha GIAA ke Pertamina mencapai US$ 532,05 juta atau Rp 7,56 triliun (kurs Rp 14.200 per dolar AS).
Irfan belum membeberkan secara detail berapa total nilai tagihan yang akan direstrukturisasi. Akan tetapi, diperkirakan pembahasan itu selesai dalam waktu dekat. “Mudah-mudahan bisa di akhir tahun ini,” kata Irfan.
Bukan rahasia lagi, kinerja perusahaan dengan kode saham GIAA itu terdampak pandemi covid-19. Pada kuartal III 2020 lalu, perseroan mengalami kerugian sebesar US$ 1,07 miliar atau setara Rp 15,21 triliun (kurs Rp 14.215 per dolar AS). Angka tersebut berbanding terbalik dengan capaian periode sama tahun sebelumnya yang laba bersih US$ 122,42 juta.
Secara total pendapatan Garuda Indonesia mencapai US$ 1,13 miliar per September 2020 atau Rp 16,98 triliun, turun dari US$3,54 miliar pada kuartal sama tahun sebelumnya.
total liabilitas Garuda per akhir September 2020 pun mengalami kenaikan menjadi US$ 10,36 miliar, dibandingkan US$ 3,73 miliar pada akhir Desember 2019. Kenaikan paling besar terjadi pada liabilitas jangka panjang, dari US$ 477,21 juta menjadi US$ 5,66 miliar. Sementara, total liabilitas jangka pendek naik dari US$ 3,25 miliar menjadi US$ 4,69 miliar.
Tingginya catatan liabilitas jangka panjang terjadi karena sewa pembiayaan Garuda yang mencapai US$ 4,27 miliar per September 2020. Kemudian aktivitas transaksi sewa pesawat, mesin, bangunan, kendaraan, tanah dan perangkat keras ini, tercatat naik drastis dari hanya US$ 35,34 ribu per Desember 2019.
Sumber Kontan, edit koranbumn