PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA) tengah menyiapkan rencana bisnis sebagai salah satu upaya dalam restrukturisasi dan pemulihan kinerja perusahaan.
Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengatakan tengah menyiapkan rencana usaha (business plan) bersama dengan sejumlah advisor yang telah ditunjuk perusahaan.
Ia menuturkan, GIAA telah menunjuk Guggenheim Securities, LLC sebagai financial advisor yang akan mendukung langkah pemulihan kinerja usaha Perseroan. Sementara itu, McKinsey & Company juga turut terlibat dalam perancangan prosposal tersebut bersama dengan mitra strategis lainnya seperti Cleary Gottlieb Steen & Hamilton LLP dan Assegaf Hamzah & Partners.
Ia menjelaskan, setelah rampung, proposal tersebut rencananya akan dibawa kepada para pemegang saham dan pemangku kepentingan terkait termasuk para kreditur, perusahaan penyewaan pesawat (lessor), dan pihak-pihak terkait lainnya.
“Rencana bisnis ini nantinya akan menjadi justifikasi saat kami ajukan kepada para kreditur, termasuk lessor, Angkasa Pura I dan II serta pihak lain. Nanti kalau rencananya sudah final akan kami infokan,” katanya dalam konferensi pers perusahaan, Jumat (13/8/2021).
Sementara itu, Irfan menambahkan pihaknya juga terus berkomunikasi dengan para pemangku kepentingan terkait perkembangan rencana restrukturisasi dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang diajukan oleh My Indo Airlines (MYIA).
Garuda Indonesia juga akan melanjutkan negosiasi dengan lessor terkait proses negosiasi harga dan masa kontrak pesawat. Awal pekan ini, GIAA berhasil menghentikan gugatan pailit yang diajukan lessor pesawatnya yakni Aercap di pengadilan Tinggi New South Wales, Australia.
Sejalan dengan hal tersebut, Irfan menambahkan, Perseroan hingga saat ini juga terus melakukan optimalisasi kinerja usaha melalui peningkatan pada aspek likuiditas, efisiensi biaya operasional, serta restrukturisasi kewajiban sebagai penentu keberlangsungan strategi pemulihan kinerja Garuda Indonesia pada tahun-tahun mendatang.
Irfan menyampaikan, upaya menuju pemulihan kinerja akan berlangsung lebih lama dari yang diperkirakan sebelumnya. Meski demikian, Irfan optimistis langkah transformasi kinerja merupakan sebuah keniscayaan yang akan terus diakselerasikan secara berkesinambungan di tengah tantangan fundamental dari kondisi pandemi Covid-19 itu sendiri, yakni ‘ketidakpastian’.
“Hal itu yang kami yakini perlu disikapi dengan mental bisnis yang tangguh serta resiliensi dalam mengawal dinamika tantangan industri penerbangan ke depannya yang masih dibayangi situasi penuh turbulensi,” ujarnya.
Berdasarkan laporan keuangan per 31 Maret 2021, GIAA mencetak pendapatan US$353,07 juta turun 54,03 persen dari pendapatan kuartal I/2020 sebesar US$768,12 juta.
Pendapatan dari penerbangan berjadwal menurun menjadi US$278,22 juta dari US$654,52 juta. Sementara, pendapatan dari penerbangan tidak berjadwal naik menjadi US$22,78 juta dari US$5,31 juta. Pendapatan usaha lainnya juga menurun menjadi US$52,06 juta dari US$108,27 juta.
Adapun, beban usaha perseroan menurun tetapi tetap di atas kinerja pendapatan perseroan. Beban usaha per kuartal I/2021 sebesar US$702.17 juta sementara pada kuartal I/2020 sebesar US$945,7 juta.
Alhasil, perseroan mencetak rugi usaha sebesar US$287,09 juta per 3 bulan tahun ini dari posisi laba usaha US$616.040 per 3 bulan awal tahun lalu.
Dengan demikian, rugi Garuda yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk membengkak menjadi US$384,34 juta dari posisi US$120,16 juta per kuartal pertama tahun lalu.
Sumber Bisnis, edit koranbumn