Penerbitan saham baru atau rights issue PT Bank Tabungan Negara Tbk (BBTN) diperkirakan akan memberikan dampak positif pada kinerja perusahaan, terutama terkait dengan penyaluran kredit perumahan.
Seperti diketahui, BBTN berencana menggelar rights issue pada semester kedua tahun ini. Adapun, aksi tersebut tidak terlepas dari rencana penyertaan modal negara (PMN) kepada perseroan.
Pemerintah pun akan ikut serta dalam rights issue ini melalui penyertaan modal negara (PMN) senilai Rp 2,98 triliun. Dengan demikian, kepemilikan pemerintah di BTN akan terjaga di 60 persen.
Direktur Utama BTN Haru Koesmahargyo mengatakan tambahan modal akan meningkatkan kemampuan bank menyalurkan kredit sehingga dapat menekan angka backlog perumahan. Saat ini, Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2020 mencatat angka backlog kepemilikan perumahan mencapai 12,75 juta.
“Saat ini, lebih banyak lagi masyarakat yang membutuhkan rumah yang harus didukung, terutama masyarakat berpenghasilan rendah. Tambahan PMN akan menambah kecepatan kami menyalurkan pembiayaan. Kalau tanpa PMN tetap bisa ekspansi tetapi akan lebih lambat,” ujar Haru dalam keterangan resmi, dilansir Senin (4/7/2022).
Menurut hitungan BTN, setiap penambahan modal sebesar Rp1 triliun maka akan menghasilkan kemampuan mendorong penyaluran kredit sekitar Rp12 triliun. Dengan rencana PMN Rp2,98 triliun yang mewakili 60 persen saham pemerintah di BTN maka total tambahan modal yang bisa didapat perseroan dari rights issue akan mencapai sekitar Rp4,9 triliun.
Dengan demikian, PMN yang diberikan pemerintah itu bisa meningkatkan kapasitas kredit hingga Rp58,8 triliun. Angka itu didapat dengan mengkalikan Rp4,9 triliun dengan Rp12 triliun.
“Modal atau equity merupakan harta pemegang saham yang menjadi penyangga apabila terjadi risiko kerugian kredit macet. Oleh karena itu, BTN tetap membutuhkan likuiditas dari dana masyarakat maupun pasar modal untuk melakukan ekspansi kredit,” katanya.
Dalam menurunkan angka backlog perumahan, pemerintah juga memberikan bantuan likuiditas kepada perbankan lewat program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) untuk membiayai rumah subsidi.
Dengan program itu, pemerintah memberikan bantuan likuditas dalam KPR rumah subsidi sebesar 75 persen dan 25 persen sisanya berasal dari Dana Pihak Ketiga (DPK) bank. Tahun ini, pemerintah memberikan kuota FLPP sebanyak 200.000 unit atau senilai Rp 28 triliun. Itu meningkat dari realisasi tahun 2021 yang mencapai 178.728 unit.
Piter Abdullah, Ekonom CORE Indonesia, mengatakan multiplier effect atau efek domino dari sektor properti terbagi dalam 3 hal, yakni dari sisi output, income, hingga dampak terhadap pembangunan.
Dampak multiplier effect ini berbeda dari setiap bank yang menyalurkan kredit ke sektor properti. Semakin tinggi multiplier effect, maka semakin tinggi efektivitas penyaluran kredit yang dilakukan,
Berdasarkan Kajian Multiplier Effect Sektor Perumahan yang dilakukan oleh BTN pada 2020 disebutkan bahwa dari sisi output multiplier, dari setiap Rp 1 yang dikeluarkan untuk sektor perumahan akan menciptakan output pada ekonomi sebesar Rp 2,15.
Dengan demikian, penempatan dana sebesar Rp20 triliun yang disalurkan untuk sektor perumahan akan berdampak pada peningkatan output ekonomi nasional sebesar Rp43 triliun.
Berikutnya dari sisi income multiplier, setiap Rp1 yang dikeluarkan untuk sektor perumahan akan menciptakan tambahan penghasilan pada pekerja sektor perumahan sebesar Rp0,76.
Alhasil, jika dilakukan penempatan dana sebesar Rp 20 triliun yang disalurkan untuk sektor perumahan akan berdampak pada peningkatan penghasilan pekerja pada sektor perumahan sebesar Rp15,2 triliun.
Sementara itu, Real Estat Indonesia (REI) melihat pasar hunian yang saat ini masih cukup stabil dengan peminat yang tinggi adalah rumah harga Rp300 jutaan sampai dengan Rp1 miliar. Pasalnya konsumen merupakan first home buyer dan lebih mudah beradaptasi.
Sementara rumah dengan harga di bawah Rp300 juta alami penurunan sebesar 30 persen. Penurunan pembelian rumah di bawah Rp300 juta ini dikarenakan pengetatan pemberian kredit perbankan kepada konsumen yang membeli hunian di bawah Rp300 juta.
Dalam kondisi normal atau tidak adanya pandemi rumah masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dengan harga di bawah Rp300 juta yang dapat dibangun bisa mencapai 300.000 rumah MBR. Namun saat ini hanya 200.000 unit rumah yang dapat terbangun karena permintaan yang juga rendah.
“Properti yang sekarang stabil ada di harga Rp300 juta hingga Rp1 miliar karena tenaga kerjanya lebih educated. Sekarang yang educated kelas menengah ini apalagi milenial lebih stabil karena mereka menyesuaikan lebih cepat,” paparnya.
Sumber Bisnis, edit koranbumn